Dini Hari Menuju Bassuli Manarang Kak Diyah


(Beberapa waktu setelah digelar Kelas Inspirasi Majene 3) Jarum jam berada pada angka yang sama, matahari semakin meunjukkan keperkasaannya dan kami menyambutnya dengan tetesan keringat kegerahan, kepanasanan dan kejenuhan menunggu datangnya seorang lelaki bernama Wira Nuriansa, seorang lelaki asal Surabaya yang sengaja menyisihkan waktunya untuk sekedar merasakan bagaimana rasanya berendam di Air Panas LImboro Makula, salah satu desa di kecamatan sendana. Memakai satu dari empat kesempatan cuti untuk berkunjung ke Limboro Makula adalah sebuah hajat bagi seorang Wira.

Adzan baru saja dikumandankan sedang tanda-tanda kedatangan Wira belum juga ada, jerit suara rem yang menggerus aspal di simpang lima kota Majene mengalihkan sedikit kerisauanku akan keberadaan Wira.

“Maaf kami terlambat, tadi cari bekal buat perjalanan”, ucap gadis berkerudung hijau sembari mendekatiku dengan wajah yang berseri. Dari wajahnya ku baca ketidak sabaran meninggalkan riuk piuk kota Majene.

“Wira belum ada kabar, hapenya tidak aktif, mungkin masih di pesawat” kata Maryam.

“Sholat dulu yuk”, ajak gadis berkurudung hijau.

Melangkahkan kaki menuju Masjid Agung Ilaikal Masir Majene bukan sekedar pengalihan agar kami tidak begitu merasa menunggu tapi sebagai seorang umat beragama menghdapat Tuhan adalah kewajiban bagi kami. Sesibuk apapun kami tidak akan lupa menghadapnya dalam lima waktu maupun sunnahnya sebab perjalanan kami adalah karuanianya, kami idak ingin Tuhan kami murka karena terlalu mementingkan dunia yang berkedok menebar kebaikan.

“Maaf Iyam (Maryam) peswatku delay, tadi mau ngabarin tapi hape lowbat, ini sudah mau ke Bandara, untuk antisipasi keterlambatan saya tiba Makassar langsung terbang ke Mamuju saja, tolong carikan travel yang bisa jemput di Bandara ya. Kira-kira saya sampai 3 jam dari sekarang,” pesan dari Wira.

Iaa Wir, kerkabar aja kalo udah terbang ke Makassar,” type dan send Maryam ke Wira.

Mendapatkan pesan itu kami berbelok ke rumah salah satu teman, waktu harus kami manfaatkan dengan sebaik mungkin. Menjatuhan badan ke sofa hingga terdengar suara (prak prak) menjadi ciri khas dari seorang Tinaa, sedang mengadu dengan  teriakan meringis menjadi ciri khas Wani dan fauzi.

“Rebahan dulu, badan dan hati buth asupan sebelum beperian ke negeri dongeng,” candanya.

“Patah-patah-patah kursinya tante,” teriak Wani.

Pemandangan yang indah sekali lagi terbentang di depan mataku, sofa yang diatur dengan gaya perang masing-masing, bukan bersembunyi di balik sofa tapi tergeletak diatas sofa, katanya cara mereka mengisi daya untuk peperengan menuju Limboro. Mereka tertidur pulas hingga adzan kembali dikumandankan dan membangunkan mereka-satu-persatu sedang kabar dari Wira tak kunjung terbaca dari layar handponeku. “Sepertinya kita akan berangkat malam,” kataku dalam hati.

Matahari kini tak segagah beberapa jam yang lau, kini cahayanya sedikit menguning memberi keindahan diselah-selah bangunan yang sejak tadi menarik mataku lewat jendela ruang tamu ini.

“Sudah mau jam 5, sudah ada kabar dari kak Wira ?,” tanya Wani.

“Belum,” Jawab Maryam.

“Bagaimana kalo kita jalan saja, kasian kak Diya sudah menunggu sejak tadi di bawa,” usul Fauzi.

Setelah beberapa jam, Maryam memberi kabar kalau Wira sudah masuk daerah Sendana dan sebentar lagi akan tiba, kami akan melanjutkan perjalanan sebentar lagi, sementara itu Diyah terlihat sibuk menghubungi seseorang tapi tak kunjung berkata halo, ia hanya mencari kontak dan meletakkan handphone di telinga tapi tak sekatapun keluar dari mulutnya. Wani dengan si gadis berkerudung hijau tengah asik dengan Murni dan Kompos menghitung kerikil, mereka terlihat akrab dengan kerikil tersebut. Mutma, Fauzi dan Tinaa dari tadi sibuk melontarkan guyonan receh. Mereka bertiga memang ahli dalam guyonan dan tawa mereka sangat khas, diantara kami bersepuluh mereka bertiga adalah suplemen yang siap melebur hening, cemas, ragu, hingga takut. Terakhir Ifha, prempuan hitam manis dan berbadan tinggi itu hanya tersenyum dan sesekali merespon guyonan yang dilontarkan kekasihnya dengan dua temannya itu. Mungkin ifha menyukai Fauzi dari sisi humorisnya.

Sekali lagi jerit suara rem yang menggerus aspal  tepat di samping Maryam.

“Maaf banget ni udah buat kamu nunggu lama, kemarin padahal udah aku rencanain dengan matang soal schedule perjalanan, ya ternyata Qadarullah berkata lain, jadi gimana kita mau langsung berangkatat atahu gimana ?,” ujar seorang pria berkaca mata berbadan kecil tapi tinggi kepada Maryam, di wahajnya ada tahi lalat, kira-kira dua centimeter dari hidungnya.

“Kita tunggu mobil dulu Wir, medannya lumayan menantang kalau naik motor apalagi gelap gk ada penerang selain lampu kendaraan,’’ jawab Maryam.

Pria yang baru saja ngbobrol dengan Maryam itu adalah Wira, pria yang sejak siang tadi kami tunggu kini sampai juga dengan wajah yang sama sekali tidak menggambarkan kelelahan meski telah melakukan perjalanan panjang Surabaya-Makassar-Mamuju-Sendana. Wira datang dengan dengan sebuah tas dan dua buah dos berisikan buku yang ditipkan rekan kerjanya untuk anak-anak di Limboro Makula. Sudah dini dini hari tapi kabar mobil yang sejak tadi di hubungi Diyah belum juga terdengar, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor dan disinilah perjalanan kami menuju Bassuli Manarang (Rumah Pinatar) milik Diya di Lomboro Makula.

Gelap, sepanjang jalan yang kami dengar hanya suara motor dan suara burung Irri-irris yang sepanjang jalan menyanyikan lagu yang sangat merdu dan melunturkan sedikit takut dalam hati kami. Walau sesekali dalam hati kami terfikiri “bagaimana jika kami kami jatuh ke jurang, bagaimana kalau motor kami mogok di tengah jalan atahu jalan mundur”.

Jalan cor yang telah tergerus waktu adalah satu-satunya jalan menuju Limoro Makula, entah berapa puluh tahun lalu jalan ini. Imajinasi kami mendadak seragam malam itu, sepeda motor yang kami kendarai menjelma jadi kuda yang sangat kuat mendaki gunung Limboro Makula dengan resiko kanan jurang kiri tebing hingga batu besar di sepanjang jalan yang kami lalui. Tidak ada jeritan rem yang menjedah perjalanan kami, jalannya menanjak tinggi tapi kami yakin cita-cita anak-anak di Limboro Makula jauh lebih tinggi dari akses menuju kesana, akses ini hanya satu dari banyak alasan mereka kuat mencapai  mpiminya. Mereka sudah ada Diyah yang menjadi bukti tingginya cita-cita anak Limboro Makula. Yah Diyah adalah seorang Trainer muda sekaligus guru bahasa German di salahs atu SMA di Kabupaten Majene, pendiri Bassuli Manarang (Rumah Pintar) tentunya.

“Ifha lompat,” Teriak Fauzi dengan sedikit tertawa sambil menumbangkan motornya, tanganya tidak kuat motor walau dengan bantuan rem.

“Kenapa Zii ? tanya Tinaa.

“Motorku tidak kuat nanjak jalannya terlalu tinggi,” jawab Fauzi.

“Ifha ikut sama ojek ayang ditumpangi kak Diyah saja nanti kakDiyah ikut sama aku,” Tinaa memang mengendarai sepeda motornya seorang diri.

Drama-drama perjalanan kami bukan hanya itu, selain Fauzi yang harus menumbangkan motor untuk menhindari jalan mundur, Tinaa juga sempat jatuh  karena tidak begitu lihat luban dan batu besar di jalanan, wajar saja lampu motornya redup tidak seperti guyonannya yang tak kunjung redup. Mutma dan Wani memang paling jago dalam perjalanan kami tapi sepanjang jalan hanya satu kata yang mereka ucapkan sampai akhirnya tiba di rumah Diyah. “Astagfirullahaladzim” adalah kata yang membersamai langkahnya.

Rumah Diyah sudah di depan mata, hanya ada dua rumah yang kami lihat dari kejauhan, mungkin seperti inilah ehidupan pedalaman, jauh dari riuk piuk kendaraan dan cahaya lampu rumah yang seakan berkompetisi menerangi para pengendara dan pejalan kaki atahupun sekedar mempertontonkoan kemegahannya di tengah gelap menggantikan matahari.

“Kakak Diyaaa….”

“selamat datang kakak-kakak…”

“Yeyy sampai juga…”

“Tada’mi mie (Mereka sudah sampai)….,”

“Nassa masae bongi tada’ (Mereka sampai selarut ini),”

“Ayo kak ayo kak, bagi bukunya bagu bukunya…..,”

“Kak buku apa pira dibawa kak (kak, bawa buku apa saja kak),”

Mendengar suara motor kami, anak-anak itu mendekat menjemput kami dengan berbagai ekspresi kesenangan. Susana terpecah begitu saja dengan dengan tingkah lucu dan menggemaskan anak-anak itu, mereka berebut menjemput kami sambil menanyakan apanyang kami baakan untuk mereka, sebagian sudah menebak bahwa kami akan membawakan buku bacaan untuk mereka. Lelah yang tadinya menguasai tubuh kami menghilang secepat kilat, senyum mereka menular ke kami, tidak ada lagi wajah lesuh yang ada senyum manis di masing-masing kami atas sambutan anak-anak itu.

Tidak terbayangkan sebelumnya, mereka menunggu kami sampai dini hari, betapa duka dalam perjalanan kami terbayar dengan sebait senyum, tawa dan berbagai tingkah lucu anak-anak itu. Kami memandangi anak-anaki itu satu per satu, mereka berkerumun melihat buku-buku yang yang bawa Wira, beberapa diantara mereka berebut buku, tertawa dengan penuh semangat memilih buku, ada juga yang diam seakan hanya ikut-ikutan memilih buku, nahkan ada yang menangis karena buku yang diinginkannya diambil temannya  yang lain.

Pemandangan yang sangat mahal yang tidak akan kami dapatkan di Kota, terikasih Limboro Makula telah membesarkan anak-anak dengan segudang semangat di tempat ini. Disaat anak seumuran mereka istirahat di rumahnya mereka memilih begadang sampai sepagi ini untuk melihat buku-buku yang kami bawa.

“kak Mandunduki teh (Kak minum the),” ucap Agil ke Wira.

Wira tersenyum dan mengambil teh yang dibawah anak Agil, kami tahu sebenarnya Wira tidak mengerti apa yang diucapkan Agil, Wira hanya menebak kalau Agil ingin memberinya teh.

“Kak innai sangata ? (Kakak namanya siapa ?),” tanya Agil.

“Hemmmmm ???,” Wira kebingungan menerjemahkannya

“Heii, nama kamu siapa ?,” tanya Wira

“Ooo mittule’I kakak innai sangamu (ooo kakak itu tanya siapa namamu),” cetus anak perempuan berambut panjang di samping Agil.

“Agil,” jawab Agil malu-malu

Wira memeluk Agil dan mengajaknya cerita memaksanakan paham bahasa Agil, yang kami dengar dan ingat betul  dalam percakapan itu kala Wira berucap “Kak Wira sengaja datang jauh-jauh naik pesawat dua kali buat ngasih kamu buku, kamu belajar yang rajin ya, jadi anak yang pintar dan soleh biar bisa bantu kak Diyah bangun kmapung ini,”.

“Jam 2 mi lewat nak, mimbalimi maki dulu di boyangta nak apa’ naistirahat i kakak-kakak, matanggali tori karao mai tanggngalalang. Malimang bopai mimbali tahu mai nak (Sudah jam 2 lewat, kalian kembali ke rumah masing-masing dulu ya soalnya kakak-kakak mau istirahat mereka capek habis jalan jauh, nanti besok baru kesini lagi),” jelas Diyah ke anak-anak itu.

Mereka tidak pergi begitu saja, namun setelah Diyah dan Maryam menjelaskan panjang lebar ke anak-anak itu akhirnya mereka pulang. Jingga warna teh yang dibawa Agil tadi membuat Wira betul-betul lupa kalau Wira baru saja melakukan perjalanan panjang, sekarang Wira terus meneguk teh itu sabil senyum-senyum tidak percaya kini Wira telah menginjakkan kakinya di Limboro Makula untuk melihat bagaimana Bassuli Manarang (Rumah Pintar) ini menjadi satu-satunya tempat anak-anak Limboro Makula membaca dan mendapatkan pengetahuan selain dari sekolah. Yah, hanya di Bassuli Manarang (Rumah Pintar) sebab akses jaringan internet tidak terjangkau di tempat ini, jangankan jaringan internet, untuk telephone seluler saja orang-orang di tempat ini harus menggunakan sambungan kabel jaringan.

Limboro Makula memang dikenal dengan suasana paginya yang dingin, tapi hari ini berbeda sejak suara bising memenuhi depan rumah Diyah, anak-anak itu kembali dengan seragam putih-putih.

“Kak Diyah bangun, Inggae massambanyang subuh kak (Kak Diyah bangun, ayo sholat subuh,” teriak salah seorang anak perempuan.

“Kak bangunnn….,”

“Bangun kak,”

“Kak ma’uango’o di bongi malimang pai mimbali, inggai kak e (kak semalam kakak bilang besok pagi balik lagi, ayo kak bangun)".

“Jam berapa ini, apa itu rebut-ribut ?", tanya Kompos.

“Tidak tahu, sepertinya anak-anak itu sudah datang kak,” jawab Wani setengah sadar.

“Jam 5 lewat 15 menit, bangun-bangun kita sholat subuh di Masjid sama anak-anak, mereka sudah di bawa sejak tadi,” kata Diyah sembari membangunkan kami.

Wira dan Maryam sejak tadi sudah bangun dan ikut dengan anak-anak itu membangunkan kami.

“Bangun-bangun, sholat-sholat, bangun sholat,” sahut Wira dengan nada becanda, anak-anak itu terus mengulang apa yang Wira katakan sampai Wira bertanya serius ke Maryam pun anak-anak itu ikuti, ya anak-anak itu tidak mengerti apa yang Wira katakan, mereka hanya mengulang apa yang Wira katakana. Melihat tingkah lucu anak-anak itu Wira dan Maryam tertawa keras sambil meneruskan membangunkan kami dengan memanggil dan bernyanyi bersama anak-anak itu. Sepulang dari Masjid, anak-anak itu mengajak kami menikmati indahnya permandian air panas di Limboro Makula untuk menghangatkan badan yang sejak semalam berselimut dingin. Betapa perhatian mereka !

Waktu begitu cepat berputar, kabut yang menutupi gunung yang mengelilingi perkampungan tidak terlihat lagi, matahari kini bertahta dengan sangat gagah, di temani awan-awan cantik kami mengajak anak-anak itu menonton sebuah kartoon edukasi dan meminta mereka mengambil hal positif dari kartun itu. Maryam si juru dongeng pun tak ingin ketinggalan mengambil bagian, ia dengan boneka kelinci dan buayanya mampu menghipnotis anak-anak disini.

“Kak cerita lagi kak, cerita yang lain,”

“Jadi bodo’ i buaya, tapi anna marakke tahu buaya  (jadi buaya itu bodoh tapi kok banyak orang yang takut sama buaya ?),” kata salah seorang anak tengah meresapi cerita Maryam.

“Kak, mauka’ jadi kancil saya supaya pintarka dan bisaka jadi guru (Kak saya mau jadi pintar kayak kancil agar bisa jadi guru,” sahut anak lainnya.

Karena waktu yang membawa kami kesini maka waktu pula yang akan membawa kami  pulang ke rumah masing-masing, terimakasih limboro makula untuk suguhan senyum yang tak berkesudahan sejak dini hari sampai saat ini, suatu saat pasti kami kembali ke tempat ini. Kami pulang dengan jutaan inspirasi dari anak-anak Limboro Makula dan kami janji akan kembali dengan jutaan inspirasi untuk Limboro Makula. One day perhaps !

“Aku iri dengan semangat anak-anak disini, pulang jam 2 lewat datang jam 5 an,” kata-kata itu keluar dari mulit Tinaa dengan sangat pelan.

 “Aku prihatin sama kamu, semalam hamper jatuh ke jurang ya hahaha, kenapa tidak terjun bebas saja biar cerita perjalanan kita berbekas hahaha,” canda Fauzi.

“Bualipas anu, eh tapi seandainya saya jatuh ke jurang pasti sekarang kita tidak disini dan melihat senyum dan semangat anak-anak tadi. tapi serius semangatnya dapat darimana ya, mana dingin banget disini,” ucap Tinaa.

 “Iyalah mereka itu masa depan Limboro, emang kamu masa depan suram tak bersemangat,” cetus Fauzi mengejek.

“Emang situ masa depannya tidak suram ?,” balas Mutma.

“Hahahahaa, masa depan….,” mereka bertiga kompak tertawa menyuarakan masa depan.

“Eh masa depanku sudah jelas loh ya, kan disini ada Ifha,” Fauzi kembali melempar guyonannya.


Catatan perjalan: suatu hari di 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Bagaimana St Hartina Menjadi Identitasku

Celoteh Maya Gita: Hai diriku !

Mengapa Harus Menginspirasi ?