A Man Who Must Not Be Named (-): Pinjam Handphone, Boleh ?
Senin,
13 February 2015 adalah hari pertamaku menyandang status mahasiswa, mahasiswa
Fakultas Hukum di salah satu kampus negeri di Sulawesi Barat, kampus yang lebih
dikenal dengan nama merah maroon itu akan menjadi tempat peraduanku menjadi
seorang sarjana. Sarjana adalah gelar yang diinginkan banyak orang walau fakta
pengangguran semakin membanjir di negeri ini. Aku tidak peduli dengan itu,
ambisiku terlalu tinggi, takkan ku biarkan diriku menjadi setetes air
(pengangguran) yang membanjiri negeri tercinta ini, Indonesia. Aku akan menjadi
bintang yang membanjiri langit hingga mereka yang hidup beratapkan langit tetap
tersenyum akan hadirkku.
Kelas
pertamaku di bangku kuliah akan menjadi hari pertama tersibuk untukku mengenal
bagaimana rupa dari hukum yang konon menjadi alat untuk menakut-nakuti
seseorang agar tidak berbuat hal yang melanggar aturan atau untuk membuat
mereka jerah melakukan sesuatu yang dilarang. Aku menyukai jurusan ini sejak di
bangku SMA, dulu aku sering mematahkan argumen temanku dengan undang-undang,
yah aku kurang suka dengan debat kusir, aku lebih suka diskusi dengan berkaca
terhadap regulasi yang ada ketimbang berimajinasi sebab aku tahu membuat aturan di negeri ini tidak sesimpel membuat
onde-onde. Banyaknya kasus aneh yang belakangan terjadi membuat semangat
belajarku mendidih, kelas pertama dengan teman baru yang tentunya sama-sama
menyukai ilmu hukum, bedah dengan masa SMA (masa dimana anak muda mengaduh akal
dan imajinasi untuk menentukan kemana mereka akan melabuhkan masa depannya).
“Hari ini cukup
perkenalan mata kuliah dan kontrak kuliah saja, minggu depan baru kita masuk
materi presentasi pertama, kelompoknya saya bagi berdarkan absen,”
Demikian
kalimat penutup dari seorang dosen berkulit putih dengan kaca mata bergagang
coklat dan kemeja biru memeluk badannya terlalu erat, dari balik kemejanya
nampak jelas ia memiliki otot yang memesona, sejak awal masuk kelas pandanganku
fokus pada kemejanya yang kusut dibagian
lengan karena terus ditarik yang tentunya menyempurnakan pesonanya.
“Yang satu kelompok dengan aku kerjanya nanti saja ya, aku
lagi sibuk,” teriakku
dalam kelas sebelum berdiri dan meninggalkan ruangan yang sudah terlanjur
bising dengan suara “Ya Allah dosen itu
gagah banget” dari teman kelasku yang satupun dari mereka belum ada yang ku
tahu namanya.
Hari pertama kuliah diluar ekspektasiku, aku
kurang menyukainya hngga aku memilih pulang. Langkahku perlahan menuntunku
menuju motor setengah baya berwarna merah yang terparkir tepat di bawah pohon
di luar area parkir dimana mahasiswa biasanya memarkir kendaraannya. Tinggal
beberapa langkah lagi motor separuh baya yang mejadi teman jalanku sejak di
sekolah menegah itu digapai tangan mungilku yang kata teman sekolahku dulu “jari aneh, gemuk dan pendek” yang tidak cocok untukku yang kurus dan
pendek.
Langkahku
terhenti dengan kedatangan seorang pria berbaju batik kuning dengan celana
gombrang yang tiba-tiba saja menghentikan langkahku dengan berdiri tegap di
depanku dengan padangan kemana-mana, matanya memerah, mungkin pria itu sedang marah, tapi apa salahku ? sumpah pria
itu semakin aneh, sontak saja ku belokkan langkahku mencoba menghindar darinya.
“Kamu bawa handphone ?,” tanyanya dari belakang.
“Ia bawa,” jawabku takut, fikirku ia
seorang dosen.
“Bisa pinjam sebentar ?,”.
“Buat apa ?, maaf aku tidak ada pulsa,” Sambil mengeluarkan handphone.
“Aku tidak butuh pulsamu, aku hanya ingin lihat
handphonemu,”.
Sial
pria itu merampas handphoneku dan aku hanya diam, maklum aku mahasiswa baru
yang tidak ingin berurusan dengan seorang dosen hanya karena handphone. Dosen
kok begini ya, fikirku jahat padanya. Sekitar lima menitan ia mengembalikan
handphoneku dan berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun.
“Terimakasih, dasar pria aneh,” gumamku dalam hati dan perlahan
menjauh dari kampus merah maroon itu.
Malam itu, jam 10 malam, tepat setelah
sinetron kisah cinta anak remaja yang kadang membuatku risih sendiri mendengar
dialognya yang membual namun mampu menarik perhatian ibuku walau adik kecilku
sedang menangis, teleponku berdering, ada panggilan dari nomor yang tidak
dikenal, seperti biasa ku diamkan hingga layar handphoneku mati. Aku mulai
merasa ngantuk, kantukku pun menuntunku ke kamar, di atas kasur kusut dengan
pakaian berantakan ku rebahkan tubuhku yang rasanya hampir tak bertulang,
saking kantuk menggrogoti tubuhku.
“Tahukah lagu yang kau suka, tahuka bintang yang kau sapa,
itu aku.....,”
Dering
telepone itu bak air yang mengguyur wajahku. Lagi-lagi dari panggilan dari
nomor yang tidak dikenal, ku diamkan hingga enam panggilan dari nomor yang sama
mengusik malam penuh hororku, malam Selasa.
“Haloo...
Asslamualaikum, dengan ibu Dinda Alfeno?,”
“Walaikumsalam, iya saya pak, ini siapa ya ?
“Selamat ibu mendapatkan hadiah sebuah mobil yang diundi
di salah satu stasiun televisi pada jam 10 malam tadi ibu, untuk mendapatkan
hadiah tersebut ibu diminta untuk hadir di kantor kami yang beralamat di Jalan
Wortel Mongonsidi depan Tokoh Sulawesi....,”
Tut tut tutt.......
Kasus
penipuan semacam ini sudah sangat banyak di negeri berkode +62 ini, aku tidak
ingin jadi korbannya yang kesekian jadi ku matikan saja telphonenya sebelum
dunia sadarku rapuh dan masuk perangkapnya.
Ini aku,
gadis kecil dengan segudang impian, oversleep sudah menjadi kebiasaanku sejak
dulu. Sejak lulus SMA kebiasaan buruk ini semakin mendarah daging dalam diriku,
tidak ada lagi alarm keras di hari Senin dan Jumat, tidak adalagi tidur pajang
di hari Minggu, kini semua hari sama. Kuliah memiliki jam fleksibel yang aturan
yang lebih menyenankan, yah, tidak adalagi riuk piuk pagi hari seperti dulu,
tidak adalagi sepatuh hitam dan kaos kaki putih, kini semua warna bebas. Tidak
adalagi memasang dasi pada Senin dan Selasa, yang ada sekarang adalah “Syal”
yang ku dapatkan dari berbagai daerah semasa SMA kemarin menjadi teman wajib
dalam setiap langkahku. Syal menjadi temanku di luar rumah, dan di dirumah
handphone adalah teman terbaik yang pernah ku miliki. Apapun yang ku rasakan
dan ku inginkan pasti bisa diberikan handphoneku. Tugas ada google, bosen ada
musik atau main youtube, kadang main game, lapar tinggal order, butuh teman
curhat bisa lewat hape, males ngetik bisa telponan, rindu bisa vidio call, bahkan
penasaran dengan hidup orang lain bisa stalk. Betapa agungnya teknologi ini,
tidak ada yang mampu menafikkan kecanggihannya.
Sekiatar
jam 10 pagi, langit-langit kamarku terasa beda, list mimpi di dinding kamar
hampir tak terbaca, aku sudah membuka mata selebar mungkin tapi pandanganku
masih buram. Ku pejamkan kembali mataku hingga tertidur pulas. Tiba-tiba
terdengar teriakan “Din bangun, abang
kamu datang ni” aku tidak
menghiraukannya hingga sesuatu telah menjatuhi badanku dengan sangat keras. Aku
kesusahan mengambil nafas, pandanganku yang tadinya buram telah menemukan titik
fokusnya, ibarat lensa kamera yang siap mengutip gambar.
“Khoceng-khocengku bangun..... !!!!! Main ke
gunung yuk, temani aku nagmbil foto” kata Bang Doddy.
“Nggak ah, males, masih ngantuk. Baru aja tidur udah
dibangunin, banguninnya juga kayak banguni kambing, jahat banget” kataku.
“Emang kamu ngerasa kambing, jadi mau abang panggil kambing atau
Khoceng?”
“Enggak dua-duanya, ihh abang ni ganggu orang lagi tidur
aja, okay aku mandi tapi nanti traktir makan di cafe favorite aku ya, terus
sorenya temani adik khoceng liat senja, ya ya yah yaaa bang ya”.
Aku
bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi, bang doddy tiba-tiba mengetuk pintu kamar mandi “Ada 108 panggilan dari masuk di handphone
kamu Cheng, tapi nomornya tidak kamu save” sahutnya. “Sms aja bang, tanyain siapa dan kenapa, kali aja penting banyak banget
telponnya”.
Hari ini
cukup melelahkan, tapi juga menyenangkan bisa naik gunung dan menikmati senja.
Libur yang menyenangkan,
“Tahukah lagu yang kau suka, tahuka bintang yang kau sapa,
itu aku.....,” telphoneku
berdering.
“Kocheng, kamu lupa syal kamu di mobil abang, buat abang
aja ya”
“Nggak, balikin sekarang juga bang” jawabku dengan nada memelas.
“Tahukah lagu yang kau suka, tahuka bintang yang kau sapa,
itu aku.....,” Telephonenku
kembali berdering. Tadinya aku pikir
bang Doddy ternyata bukan dan hanya misscall dari nomor yang tdak dikenal.
Setelah ku perhatikan nomor itu nomor yang sama, yah 108 panggilan yang
dimaksud bang Doddy. Karena penasaran aku menelphone.
“Halo Assalamualaikum maaf siapa ini ?”
“Walaikumsalam, Saya Doni kemarin ada panggilan masuk dari
nomor kamu makanya saya telpon semalam tapi tidak kamu angkat-angkat” katanya.
“Maaf Doni siapa ? mungkin kamu salah nomor” langsung aku matikan.
Tintong................. satu
pesan masuk.
“Ini nomorku ya, tolong disave, aku yang
pinjam handphonemu tempo hari di parkiran kampus,”.
Setelah kuperhatikan, pesan itu dari nomor
yang memanggilku 108 kali, ternyata namanya Doni, pak Doni tepatnya.
“Tadi aku telphone kenapa tidak bilang itu kamu”
“Aku tidak menerima panggilanmu”
“Tadi aku telpon soalnya ada 108 panggilan darimu sejak
semalam”
“Namaku bukan Doni, Doni itu
kakakku, dan aku tidak menelpon sebanyak itu” balasnya.
Aku
tidak membalas pesannya lagi, dikepalaku sekarang kenapa Dosen aneh itu mengatakan kalo ia tidak
menelponku, panggila sebanyak itu hanya berujung “Save nomorku ya ! ”. Tadinya ku pikir ini panggilan darurat,
setidaknya ada tugas atau perintah apa gitu dari seorang dosen. Ternyata dosen
itu meminjam handphone untuk meminta nomorku, dasar dosen aneh, bisa saja kan
dia memintanya dengan baik, jika takut tidak kuberikan, bagaimana mungkin
seorang mahasiswa baru sepertiku saat dimintai nomor oleh dosennya menjawab “maaf pak, aku tidak punya handphone”,
yang ada malahan dosennya bales “mahasiswa jenis apa kamu yang yang di jaman
serba ada ini kamu tidak punya handphone’’. Apa-apaan ini, kenapa dosen aneh
itu mengisi pikiranku.
.png)
Komentar
Posting Komentar