Aku dan Bagaimana St Hartina Menjadi Identitasku


Ku Sematkan Do’a dalam Nama Putriku

Aku lahir di sebuah Kota kecil yang dijuluki "Kota Purba"[1] sebab usianya yang terbilang sangat tua, 15 Agustus 1545 adalah Hari Lahir dari kota kelahiranku. Selain "Kota Purba", kota yang juga diberi gelar “Kota Malaqbi"[2] dengan sejarah 7 kerajaan di pesisir dan 7 kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu, Pitu ulunna Binaga) menjadi identitas Malaqbi’ akan terus dikenang walau apa yang akan terjadi. 3 Januari 1996, disaksikan angin yang berhembus perlahan lewat celah-celah bambu dinding kamar mandi rumah panggung khas Mandar yang baru beberapa bulan dihuni orangtuaku, untuk pertama kali suaraku terdengar di muka bumi ini, bukan mengucapkan salam atau sekedar bercanda seperti yang biasa aku lakukan, namun menangis dengan keras untuk memperingtakan setiap orang jika telah lahir seorang perempuan yang kelak akan membawa senyum untuk setiap orang melihatnya bertumbuh. Ya menangis, walau telah ku coba sekuat tenaga memberitakan kelahiranku dengan bahasa yang aku pikir mereka mengerti tapi tetap saja yang terdengar di telinga mereka hanya sebuah tangisan panjang. Kata ibuku dan ayahku menangis adalah hal yang pasti dilakukan setiap anak saat pertama kali melihat dunia.

Aku menjadi seorang anak yang tak bernama selama 96 hari melihat dunia, Ibu dan Ayah ku belum menemukan nama yang tepat untuk anak ke empatnya ini, begitu sulit menemukan nama dan doa’a yang pas disematkan dalam setiap panggilan yang akan ku terima hingga pada 28 April 1996, terdengar kabar "Istri Presiden kedua Republik Indonesia wafat, Ibu Raden Ayu Siti Hartina yang biasa dipanggil Ibu Tin wafat". Ibu Tin adalah sosok yang "wah" dimata Ibu ada Ayahku. Katanya, menyatukan seluruh budaya yang ada di Indonesia adalah hal yang paling membanggakan dan tidak bisa dihargai dengan apapun kecuali penghormatan, berdasarkan cerita ibu dan ayahku Ibu Tin adalah pendiri dari Taman Mini Indonesia Indah. Selain itu, katanya pada ulang tahunnya yang ke 45 yakni pada 23 Agustus 1968 ibu Tin mendirikan dan mengelolah Yayasan Harapan Kita bersama wanita-waniat enerjik pada zamannya yakni Siti Saleha Ibu Sutowo, Sri Dewanti Muhono, Kartini Widya Latief, Siti Maemunah Alamsjah, Wastutui Ali Murtopo, dan Soetamititah Soedjono Humardani.

Karena begitu mengagumi ibu Tin, ibu dan ayahku mengadopsi namanya untukku. Sejak saat itu aku bukan lagi seonggok daging yang tidak mempunyai nama, aku telah menjadi harapan mereka yang di dalamnya disematkan do’a terindah dari sepasang kekasih yang telah bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Sepasang malaikat bersayapkan kasih dan cinta untuk anak-anaknya yang terus bertumbuh merabah manis dan peliknyan dunia dengan indra yang dimilikinya.

“Ku beri nama St Hartina kepada anakku agar kelak Ia tumbuh menjadi anak yang cantik, pintar, berbakti kepada orangtua bangsa dan negara dan ikut andil dalam pemerintahan Indonesia walau sebatas mendampingi pemimpin negeri ini kelak," kata bapakku kalah itu, ini berdasarkan cerita ibuku.

“Ku semangatkan do’a dan harapan pada setiap panggilan yang kelak akan keluar dari mulut ini untukmu nak,Tuo dai’ marendeng,[3]’’ kata ibuku.

Aku tumbuh menjadi anak yang begitu aktif dan suka bereksperimen, memilki sepasang mata bulat dengan kepala botak, dengan ciri khas memakai anting  di satu telinga saja, ya satu telinga sebab setiap kali ibu membelikanku anting-antin aku selalu menghilangkannya satu. Ibu telah beberapa kali membeli anting namun hal yang sama terus ku lakukan dan ibuku memutuskan menungguku dewasa  untuk melengkapi tlingaku dengan anting-anting. Hal itu malah membuat setiap orang yang melihatku tertawa gemas ingin menggendongku namun gagal sebab aku selalu merontah tak ingin digendong manusia lain selain ayah dan ibuku. Aku mungkin  masih kecil tapi aku bisa mengenali setiap orang yang mendekatiku, tak jarang ku gigit jari mereka yang bersikeras ingin mengambilku. Anehnya, tindakanku malah membuat mereka terus menyapa dan mengajakkku bermain, es cream dan berbagai macam jajanan kue selalau saja menjadi senjata mereka, akupun tidak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan makanan gratis. Untuk melepaskan diri dari mereka aku punya jurus andalan “pipipis di celana”, setidaknya aku telah mendapatkan ice cream dan jajanannya. 

Sejak kecil aku telah beberapa kali mengikuti peperangan, mulai dari berperang melawan kucing-kucing yang terus menganggu kucing nenekku Boy,  aku memukul setiap kucing yang mencoba mendekati Boy, Boy adalah temanku yang aku pikir suatu saat akan menjadi sepertiku, memiliki tangan dan kaki, berhenti makan tulang ikan dan makan makanan yang sama seperti yang ku makan, mandi dua kali sehari, dan berbicara layaknya manusia. Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi. Untung saja waktu mendewasakanku dan membuatku mengerti apa bedanya aku dengan si Boy. Aku juga telah beberapa kali jatuh dari tangga hingga di wajahku terdapat banyak bekas luka, aku selalu melihat sesuatu yang sangat indah di diatas sana dan aku ingin mengambilnya tapi aku masih terlalu kecil untuk menaiki tangga sebanyak 12. Karena aku adalah anak yang beda seperti yang diharapkan orangtuaku, menyerah bukan hal yang akan ku lakukan hingga aku mencoba menaiki tangga itu berulang kali dan tentu jatuh berulang kali juga. Biarkan bekas luka yang menjadi saksi seberapa petarungannya diriku dimasa kecil. Tak hanya itu, dari kecil aku sudah biasa mengotak atik kendaraan, sepeda. Ayahku memiliki sepeda ontel yang sering menjadi mainanku, ya sekedar membangi rantainya menjadi beberapa bagian dan  memasang paku pada ban sepeda ayah agar tidak dipakai kakakku kemana-mana.

            Terkadang aku bingung sama orang dewasa, aku telah melakukan hal yang anak lain tidak lakukan tapi mereka malah memarahiku, kurang baik apa aku menjaga Boy dari kucing-kucing itu, kurang gigih apa aku ingin mengambil benda diujung tangga sana dan kurang baik apa aku menjadikan rantai sepeda ayah menjadi beberepa bagian. Apa marah adalah salah satu cara mengekspresikan kasih sayang ? aku rasa seperti itu, apa aku juga akan dewasa dan marah juga nanti ? jika nanti aku marah aku ingin tersenyum sambil membawa permen yang besar biar mereka yang aku marahi tidak menangis, aku ingin marah dengan caraku sendiri.

   “Hei kaule’-ule’[4], ayah kamu mau jalan-jalan lihat kuda di rumahnya paman Agus, ayo ikut, disana ada banyak kuda warna warni kayak dibukunya kakak,” rayu ibuku agar aku ikut bersama ayah.      

Sebelum ayah keluar dari rumah aku telah dari tadi duduk manis beralaskan tanah di samping sepeda ontel miliknya, sedari tadi aku telah memasang wajah memelasku agar ayah tidak menolak membawaku bersamanya dan aku berhasil. Dengan menggunakan celana panjang berwarna hijau dan baju kaos lengan panjang hitam lengkap dengan topi koboy favoritnya, ayah mengayuh sepedahnya sambil menyanyikan lagu kesukaanku.

Nasaua dialangan melullung kaeng lotong, melullung kaeng lotong

mattattangai to pole di balitung

apamo puti-puti’na topole di balitung – topole di balitung

Tuppuang bassi mesa tau angga’na

Pa’dai tuppuang bassi mesa tau angga’na, mesa tau angga’na

Tilili tama dibuttu bunga kora

I’o riting bunga kora dao melo’ disullu dao melo’ disullu

Mua’ Tania  mamea gambena

To mameapa gambana tamma’ topa mangaji

Narete topa pano pindang daranna

…………..[5].

Aku duduk di belakang ayah dengan menggoyangkan tangan ketas dan kebawa menjadikan kedua tanganku sebagai sayap yang akan membawa kami cepat sampai ke tujuan. Ayah menyanyi dengan suara yang sangat merdu sepanjang jalan, suara angin, gesekan ban dengan aspal serta suara goes sepeda ayah turut mengiringi lagu yang dinyanyikan ayah secara berulang dan sesekali memanggilku memastikan aku tidak sedang tertidur diatas sepeda. beberapa kali aku tidur saat dibonceng ayah kemana-mana. Karena itu ayah mengikatku dengan sarung ke perutnya, katanya agar aku tidak jatuh saat dibonceng oleh ayah dalam kondisi tidur. Sebagai anak terakhir aku adalah yang paling dekat dengan ayah dan aku adalah satu-satunya yang selalu ikut ayah kemana-mana.

Bersepeda adalah cara ayah menunjukkan keindahan dunia pada putri bungsunya, menyanyi lagu yang sama adalah cara ayah mengajarkan putri bungsunya menghargai seni daerah, mengikatku adalah cara ayah menjagaku dari segalah kemungkinan yang tidak ayah inginkan terjadi pada putri bungsunya. Ayah terus membawaku kemana-mana dengan sepedahnya sampai aku berumur 6 tahun, jika sebelumnya ayah membawaku ke tempat kerjanya pada umur 6 tahun ayah tidak lagi melakukannya karena aku harus masuk sekolah. Tapi di hari libur aku selalu merengek ingi ikut bersama ayah. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya aku lulus Sekolah Dasar dan lanjut ke Sekolah Menengah Pertama. 6 tahun di bangku Sekolah Dasar, 6 tahun ayah mengantarku dengan sepeda ontelnya, perlahan aku sadar bersepeda bersama ayah suatu saat akan menjadi kenangan karena kata ayah kalau aku sudah lulus Seklah Dasar ayah tidak akan mengantarku lagi, katanya sekolahnya terlalu jauh jadi aku harus ikut ersama temanku naik bus sekolah. Masa kecilku berlalu dengan sangat menyenangkan bersama ayah.

            Ibuku adalah pencerita sekaligus pendengar terbaikku, apun ceritaku akan Ibu dengarkan dengan penuh perhatian dan antusias. Aku mewarisi kebiasaan itu dari ibu, aku suka berbicara ke setiap orang yang aku temui sewaktu aku sekolah. Aku tumbuh menjadi pencerita terbaik melebih ibu namun aku belum mampu menyamainya dalam hal menjadi pendengar terbaik. Sewaktu kelas 5 SD, banyak yang memanggilku dengan "Ibu Tin", aku tidak mengerti, aku hanyalah seorang anak kecil yang kemana-mana membawa sapu tangan, kata Ibuku untuk melap ingus yang terus menciptakan mural di pipi kanan dan kiriku secara bergantian. Dari sana Ibu menceritakan semuanya, sebetulnya aku belum paham kenapa, aku masih terlalu kecil untuk memahami sejarah kuno tentang diriku sendiri. Senang dan menceritakan cerita Ibuku ke teman-teman sekolahku tentu saja aku lakukan kala itu. Masuk di bangku SMP, aku mulai sadar, ternyata ada harapan yang Ibu dan Ayahku simpan dengan rapi dalam namaku. Sejak itu namaku adalah aamiin ku yang selalu ku semogakan dalam sholat maupun do'a-do'a tak terencanaku.

Untuk do'a dan harapan yang telah ada dalam namaku sejak 28 April 24 tahun lalu, aku masih dalam perjalanan menggapainya. Entah pada usia keberapa, harapan Ibu Ayahku berwujud. Untuk cerita masa kecil yang menjadi sumber kekuatan,

Untuk harap dan do'a yang tak putus,

Dan untuk mimpi atasnya,

Aku adalah apa yang Ibu dan Ayah harapkan.



[1] Julukan untuk Kabupaten Majene Sulawesi Barat.

[2] Malaqbiq adalah bahasa Mandar yang dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat.

[3]Do’a dalam bahasa Mandar agar setiap anak tumbuh berkembang dan panjang umur.

[4] Kaule’-ule’ = selalu ingin ikut kemana-mana (bahasa Mandar).

[5] Lagu daerah Mandar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Celoteh Maya Gita: Hai diriku !

Mengapa Harus Menginspirasi ?