A Man Who Must Not Be Named (10): Sakitmu Membangunkan Cinta

 



Hari ini pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN), aku mulai membayangkan suasana desa dengan suara jangkrik menjelang malam, pagi yang dingin dan udara yang segar tanpa bising kendaraan mendobrak aun telingah setiap saja. Mungkin juga tanpa sinyal, ini akan sangat membantuku melupakan semua kisah asmara yang tidak seharusnya aku mulai jika saja aku tahu akan berakhir seperti ini. Dari banyak referensi yang aku dapatkan tentang KKN, aku yakin akan jadi manusia tersibuk selama 40 hari kedepan, katanya orang desa menganggap mahasiswa KKN tahu semua hal, kita kadang dianggap google oleh masyarakat.

Untuk menghindari bertemu dengannya, aku memilih gabung dengan jurusan lain saat pembekalan, aku mempunyai teman di Fakultas Mate-matika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) namanya Wani, aku menyelinap ikut ke deretan kursi fakultasnya agar aku tidak bertemu dengannya. Aku muak melihatya, dadaku mendidih seketika saat mendengar namanya disebut apa lagi mendengar suara dan melihatnya, mungkin aku akan terserang penyakit asma.

Namaku tidak ada di posko manapun, sepertinya ada kesalahan teknis dari panitia KKN tentang nama mahasiswa yang tidak ada dalam daftar posko, ada belasan mahasiswa yang tidak terdaftar, gara-gara kesalahan itu  aku harus menghadap ke panitia KKN untuk mendapatkan posko penempatan. Ada juga untungnya juga, aku bisa memilih posko dan menghindari kemungkinan satu posko dengannya. Saat aku berdiri dan membalikkan badan hendak menghadap ke panitia dia berdiri tepat di depanku.

“Kamu mau satu posko denganku ? aku bisa uruskan ?,” tanyanya padaku, dari lekukan keningnya dia menginginkan aku menjawab “mau”.

“Jangan, nanti ada cerita di lokasi KKN, aku tidak ingin jadi bahan cerita mahasiswa lain,” aku menolaknya halus karena Wani ada di sampingku, aku sedang tidak ingin berbagi cerita tentang kisahku yang telah kandas dengannya. Aku terus berpura-pura di depan Wani kalau kita baik-baik saja.

“Sudah, manut saja Din, biar kalian berdua jadi mama Papa mahasiswa lain di posko,” sahut Wani matanya yang terkedip-kedip mengejek kami.

“Kalo kami melakukan hal yang tidak diinginkan kamu mau tanggung ?,” godaku ke Wani

“Nikah solusinya,” jawab Wani dengan sangat cepat sebelum kalimatku habis.

Aku dan dia ditempatkan di desa ujung kota namun satu ujung satunya lagi ujung timur, beruntung aku memiliki teman posko yang juga temanku kelasku, namanya Dahlan. panitia KKN sudah sejak tadi menyampaikan kalau tidak ada sinyal di enam posko terjauh, poskoku dan poskonya masuk dalam daftar itu. Aku harus belanja alat tulis dan sembako untuk keperluan awal posko kami, aku pamit minta diri.

Hari ini pemberangkatan, aku dan Dahlan duduk di depan gedung Rektorat Kampus dengan kardus-kardus yang terikat rapi berisi bahan persiadaan awal KKN kami. Tiba-tiba dia datang dan duduk di sampingku dengan ransel merah bertali abu di pundakya.

“Sudah siap KKN  tidak ada jaringan ?,” tanyanya.

“Siap dong,” jawabku.

“Dahlan tolong jaga Dinda di Posko, Dinda paling susah makan kalau lagi ada kerjaan, paksa saja kalau dia tidak mau makan, jangan buat lelah bekerja sendiri kalau tidak kita bukan teman,” bisiknya ke Dahlan agar keras hingga aku bisa mendengarnya.

Dia kemudian berdiri dan menyodorkan tangannya memintaku menjabatnya, aku sebenarnya tidak ingin menjabatnya tapi ada Dahlan dan aku tidak ingin Dahlan curiga dengan hubungan kami yang sudah tidak ada apa-apa, dengan terpaksa ku jabat tangannya. Sial dia mendong tangannya memintaku menciumnya, aku menatapnya dengan sinis agar ia mengerti kalau aku sedang tidak menyukai caranya. Semakin aku menatapnya ia semakin tersenyum lebar dan menarik tanganku ke bibirnya. Aku tidak berdaya menolaknya apalagi memarahinya di depan Dahlan.

Aku menjadi Koorinator Desa (Kordes), hari-hariku di lokasi KKN ku sangat padat dengan program kerja dan juga ajakan masyarakat mengikuti kegiatan desa pseperti mengajak kami ke kebun, main bola volly setiap sore, senam pagi pada hari Jumat, dan juga anak-anak desa yang tidak membiarkan kami isrtirahat. Anak-anak desa selalu memenehi ruang tamu hingga teras posko kami, ada yang belajar dengan salah seorang temanku, ada yang sekedar bercanda, ada juga diam saja, aku tidak mengerti apa yang anak-anak fikirkan. Emosiku kadang pecah karenanya, anak-anak itu terus mengangguku sedang aku harus menyelesaikan laporan, aku sudah mencoba memberinya pemahaman tapi mereka tidak mengerti, aku ingin memarahinya tapi apa sopan pendatang sepertiku memarahi tuan rumah yang serama ini menjamuku. Walaupu ramahnya terlihat anarkis tapi seharusnya aku bersyukur dengan apa yang mereka lakukan, dan bukankah mereka bisa menjadi pelampiasanku untuk meluakan kisah asmara suramku ?.

Seorang pemuda desa setempat bernama Ary datang ke posko sekedar memberitahukan kalau ada titik jaringan yang bisa kami gunakan untuk sekedar menelpone keluarga atau ingin mengakses internet, tempat jauh lumayan jauh. Kami harus berjalan sekitar 20 menit melewati kebun coklat dan menaiki satu bukit yang lumayan tinggi. Untuk mendapatkan kualitas kami harus naik sampai ke puncak.

Sabtu, Minggu dan Selasa sore adalah jadwal yang kami tentukan untuk menuju lokasi tersebut, terkadang jika ada tugas atau ingin mencari bahan materi kami terpaksa ke tempat di luar dari jadwal yang kami tentukan. Sejujurnya sangat melelahkan tapi kami tidak ada pilihan lain, tempat satu-satunya mendapatkan sinyal kami harus kesana.

Setiap ke mendapatkan sinyal aku menggunakannya untuk menelpone ibuku, melepaskan rindu dengan menceritakan semua aktifitasku selama di posko kepada ibu. Aku sama sekali tidak tertarik membuka sosial media mengakses internet pun akun tidak ingin hingga aku harus membawakan maeri di salah satu sekolah yang ada di desa tersebut, aku tidak punya bahan materi seperti yang diminta sekolah itu dan membuatku harus mengambilnya dari internet. Aku mencari bahan materi dengan Dahlan, Dahlan menanyakan tentang kabarku dengan dia saat itu, aku hanya menjawab tidak tahu karena tidak ada kabar darinya disebabkan susah sinyal.

“Coba tanyakan kabarnya di sosmed, siapa tahu dia dapat sinyal nanti,” kata Dahlan yang serius main mobile legend di smartphonenya.

Mendengar Dahlan mengatakan itu aku membuka sosial media, aku membuka Whatsapp tapi pesanku tidak sempat terkirim karena Whatsappku terus berdering menerima pesan yang sangat banyak tertunda berhari-hari. Aku sudah pulang tapi pesanku belum terkirim. Aku kembali ke mencari sinyal untuk mengkoordinasikan program kerja posko kami dengan pihak kampus, di tengah terik matahari supervisor posko ku asik memarahiku di balik telepone karena keterlambatan informasi tentang salah satu program yang membutuhkan dana dukungan dari kampus, kegiatannya sudah deadline sedang untuk meminta bantuan dana membutuhkan waktu yang lumayan lama.

Teriknya matahari dan omelan supervisorku merusak suasana hatiku, aku menghibur diri dengan membuka semua sosial mediaku. Ada pesan yang tidak ku harapkan di salah-satu sosmedku. Pesan yang menceritkan aktifitasnya dan menanyakan kabarku masuk setiap hari. Karena banyaknya pesan yang ia kirim aku hanya membaca dua pesan paling terakhir yang dikirimnya.

“Bagaimana kabarmu hari ini ? apa kamu mendapat sambutan yang baik dari orang desa ?,”.

“Tolong balas pesanku jika kamu mendapatkan sinyal, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. aku butuh kabarmu,” pesannya.

Setiap hari pesannya masuk tanpa balasan satupun dariku. Di hari terakhir di lokasi KKN aku menyempatkan ke bukit mencari sinyal untuk mengabari ibuku aku ingin pulang hari ini. kali ini aku membuka sosmed tanpa pesan darinya, ini membuat perasanku hancur, apa dia sudah tidak ingin memperjuangkanku ? apa dia sudah sangat lelah ? apa aku memang harus berpisah dengannya.

Aku memberanikan diri mengirimkan pesan padanya, sekedar memberitahukan bahwa hari ini aku akan pulang dan 40 hari KKN ku baik-baik saja, orang desaku menjamuku dengan sangat baik. Termasuk anak-anaknya. Aku  sudah di rumah tapi pesanku padanya belum dibaca, aku mencoba menelpone tapi nomornya tidak dalam jangkauan. Aku berfikir dia mungkin belum pulang.

Ini sudah satu minggu KKN berakhir tapi pesanku belum juga terbaca  nomornyapun masih belum dapat ku jangkau. Perasaanku kacau mengkhawatirkan dia yang tidak seharusnya tidak ku khawatirkan. Aku bertemu mendapatkan telephone dari adik kelasku, Audy namanya. Ia menanyakan data dirinya padaku.

“Kak tolong kirimkan datanya pribadinya kak Didin seperti tempat tanggal lahir dan nomor stambuknya,” tulisnya.

“Buat apa ?,” tanyaku.

“Tadi kak Didin menelpone minta tolong di urukan laporan KKN nya, katanya dia sakit dan sudah seminggu di rawat di rumah sakit,” balasnya.

Mendengar kabar itu aku merasa dadaku sesak, aku kesulitan mengatur nafas, tanganku gemetar seiring dengan debaran jantungku yang semakin lepas dari ritmenya. Aku menghubungi semua temannya untuk mendapatkan kabarnya tapi tidak satupun yang tahu. Terakhir aku menghubungi Fauzan. Fauzan mengatakan kalau dia dirawat di ruang Angrek lantai dua Rumah Sakit Kota Purba. Tanpa berfikir panjang aku menghampirinya ke rumah sakit, aku bawakan buah da roti untuknya, aku juga mengajak Wani agar aku ada bahan untuk jikalau nanti di rumah sakit dia membahasa tentang hubungan kami. Perkiraannku salah, di rumah sakit ia terlalu asik bercengkrama dengan  Wani dengan topik bahasan KKN Desa tanpa sinyal. Aku diabaikan.

aku memperhatikannya secara detail dari ujung kepala hingga kami, ada banyak perubahan pada tubunya, kini tubuhnya kurus, makin hitam, ada bercak merah di sekujur lengan dan kakinya. Itu penyakitnya tapi aku berusaha menahan diri untuk terlalu ambil tahu tentang sakitnya, aku tidak ingin dia tahu aku sedang sangat mengkhawatirkannya sedang aku adalah orang terabai tentangnya selama lebih satu bulan belakangan, aku merasa diriku sangat jahat tapi aku tidak menunjukkan semua itu padanya. Aku terlalu gengsi.

“Kenapa nomor kamu tidak aktif,” tanyaku sebelum pulang.

“Handphone aku mati, ibuku memintaku istirahat dan menyita handphoneku,” katanya.

“Kenapa tidak mengabariku ?,”.

“Handponeku mati,”.

“Terus kenapa Audy tahu ?,”.

“Aku minta tolong kemarin uruskan berkas, agar dia mau membantuku aku ceritakan kondisiku,”.

“Kenapa bukan aku ?,” tanyaku.

“Kamu terlalu sibuk untuk membalas pesanku apa lagi untuk membantuku,” jawabnya sambil memalingkan wajah.

Aku meminta kontak yang bisa ku hubungi untuk mendapatkan perkembangan kabarnya, dengan beralasan liputan aku membawa diriku pergi dari rumah sakit itu dengan rasa sakit yang mengalir bersama darahku ke seluruh tubuhku. Aku hancur dengan jawaban yang ia berikan, apa aku sejahat yang ia katakan ?.

Perasaan itu telah mengalir dan mengisi setiap organ tubuhku, aku seolah menjadi pemeran antagonis dalam kisah kami. Aku berulang kali memintainya maaf, aku ingin merawatnya, aku ingin berada disampingnya hingga kembali sehat, sayang dia tidak menginginkanku sekarang. Aku bukan lagi seseorang yang harus dia perjuangkan. Ini kali pertama aku melihatnya semarah ini, marahka kali ini adalah murka.

Aku berjanji akan memperjuangkannya kembali, melihatnya sakit menyadarkanku akan cinta yang ku miliki sepenuhnya masih miliknya. Bukan satu kali aku memintanya menerimaku kembali tapi jawan yang aku terima masih saja sama. Dia menolakku. Air mataku sudah tidak berarti apa-apa baginya. Aku sudah merayunya untuk kembali, merayunya dengan list janji manis serta air mata berharap dia dapat menerimaku kembali tapi sama saja, aku gagal.

“Tolong maafkan aku, biarkan aku merawatmu. Sampai kamu sembuh saja,” mohonku padanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Bagaimana St Hartina Menjadi Identitasku

Celoteh Maya Gita: Hai diriku !

Mengapa Harus Menginspirasi ?