A Man Who Must Not Be Named (7): Cemburu Semanis Madu




Sore itu kami mengerjakan tugas kuliah di rumah salah satu teman kelas kami, dia juga teman SMA ku yang baru akrab di bangku kuliah, ya baru akrab, entah aku dia yang terlalu sabar atau aku yang teralu aktif jaman SMA hingga kami tidak saling menyapa walau kelas kami bersebelahan. Namanya Fauzan, rambutnya keriting, berkumis tipis, badannya cukup berisi tapi tidak masuk dalam kategori gendut. Fauzan orang yang humor, pecinta motor gede, tutur sapanya sangat sopan , walau sedang becanda dia selalu bisa memilah kata yang dia lontarkan.

Fauzan dan dia, kekasihku. Sebagai sesama pecinta motor walau berbeda jenis motornya mereka selalu asik dengan pembahsan motornya yang sedikitpun tak ku mngerti, aku kadang sengaja ikut tertawa ketika mereka tertawa lepas, pura-pura tahu dan paham akan apa yang mereka bahas.

Waktu semaki sore, tugas kami hampir kelar aku kerjakan sendirian dan merekapun masih asik dengan dengan ceritaya. Aku sedikit bersyukur karena tidak ada yang menganggu fokusku, walau aku sedikit meras diacuhkan, aku sedikit merasa motor itu menggantikanku di hatinya tapi rasanya sangat konyol jika perasan itu aku teruskan. Sudah kubiarkan saja mereka dengan ceritanya hingga tiba-tiba saja suara mereka perlahan mengecil hingga saling terdiam, fikirku mereka telah kehabian bahan pembicaraan.

“Sayang, jangan kemana-kemana aku pergi dulu,”.

“Mau kemana ?,”.

“Tukar Motor di rumah,”.

Ku biarkan ia pergi dan tinggallah aku berdua dengan Fauzan yang masih sibuk dengan alat-alat motor di depannya, aku tahu alat apa saja itu, yang aku tahu hanya baut dan stand kaki. Pekerjaanku selesai, aku mengumpan topik pembicaraan ke Fauzan yang entah bagaimana kami bisa membahas kuliah dan berujung pada analogi kucing dan anjing, aku tidak mengerti cara Fauzan menyambung sesuatu yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Ku akui Fauzan ahli saol itu, aku suka selera humornya.

Disaat kami asik tertawa dengan topik “Lelaki Kacung” yang barusan dia praktikkan, tiba-tiba dia, Kekasiku datang dengan menggunakan celana pendek baju merah berlapisakan lengan hitam ketat lengkap dengan topi hitam dikepalanya, ia datang dengan sepeda polygon yang tempo hari memintanya mandi di selokan depan kampus beralmamater kuning.

“Fauzan, temani aku olahraga boleh, ?’’.

“Boleh, aku sudah lama tidak sepedaan,” kata Fauzan.

“Tapi kamu naik motor, bawa Dinda bersamamu, aku ingin olahraga bersamanya tapi aku tidak ingin  Dinda meneteskan keringat kecapean mengayu sepeda, cukup aku saja yang meneteskan keringat untuknya, menafkahinya kelak,”.

“Nada bicaramu terlalu manis, i’m sorry bro, but i don’t want be obat nyamuk kalian berdua di jalan,” ejek Fauzan.

“Ayolah, aku janji habis ini menemanimu ke tokoh alat motor yang aku bicarakan tadi, aku bantu kenalan sama pemiliknya biar dapat harga murah,” tawarannya kepada Fauzan.

“Kalo ini aku tidak bisa menolak, tunggu aku ganti baju dulu,” kata Fauzan sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan senyum pepsodent khasnya.

Sore itu kami menghabiskan sore dengan mengelilingi kota bertiga, aku dan Fauzan dengan sepeda motor dan dia, kekasihku dengan sepedanya. Sesekali ku mintanya melambaikan tangan hingga menunjukkan segalah ekspresinya ke kamera handphoneku, tak lupa ku hadirkan moment ini dama story media sosialku dengan caption manis menyemangatinya. Terkdang dia, kekasihku tertinggal jauh dari kami dan yang membuatnya mengayu lebih keras, Fauzan sengaja mengerjainya dan aku hanya tertawa mengejeknya.

Kelakuan Fauzan membuatku tertawa lepas, topik pembicaraannya aneh-aneh, aku kadang berfikir dan mencocokkan semua yang dia katakan dengan kenyataan yang terjadi, tentunta dengan kejadian-kejadian yang entah segaja atau tidak ku alami belakangan terakhir. Aku sedikit memindahkna fokusku ke Fauzan dan sedikit membiarkan dia, kekasihku fokus dengan sepedanya. Tadinya aku fikir Fauzan akan jadi obat nyamuk kami sore ini ternyata aku salah, Fauzan melengkapi sore kami. Sore itu kami akhiri dengan duduk diam mendengarkan suara ombak di tepi pantai tempat dimana biasa aku dan dia, kekasihku menikmati indahnya magic hour, ini kali pertamaku menikmati magic hour dengan lelaki lain, meskipun ada dia, kekasihku.

Hari mulai gelap, kami kembali kerumah masing-masing. Seperti biasa ku kirimkan pesan pada dia, kekasihku. Sekedar mengingatkannya sholat magrib, aku tahu sholat adalah kewajiban umat Islam dan pasti aka dilakukan walau tidak ku ingatkan, tapi bagiku ini adalah salah satu bentuk perhatianku padanya, aku fikir dia menyukainya jadi ku lakukan secara berkala.

Pukul 10.15, waktunya teleponan dengannya, tidak seperti biasanya malam ini pembahasan kami sedikit membahas Fauzan, sebetulnya dia yang memulai dan karena aku juga banyak verita menarik tentangnya di jalan tadi maka ku balas dengan antusias setiap dia menayakan tentang aku dan Fauzan di jalan, bagaimana Fauzan di mataku hingga bagaimana jika Fauzan menjadi sahabatku. Aku tidak mengerti maksudnya menanyakan semua itu, aku hanya menjawab degan sangat jujur setiap pertanyaannya hingga tiba-tiba telepon kami terputus, baterai handphonenya habis tapi beberapa menit kemudian  ku terima pesan singkat darinya.

“Kok tidak telepone balik,”.

Aku jujur bingung dengan  isi pesan singkat itu, ku cerna dengan hingga baik hingga ku simpulkan ia sedang marah padaku, tapi apa yang membuatnya marah. Aku tidak merasa melakukan kesalahan seharian ini.

“Kenapa mati tadi ?,” tanyaku dengan nada halus.

“Sengaja aku matikan,”.

“Kenapa ?,’’.

“Telingaku gatal,’’

“Kamu sudah bersihkan telinga minggu ini ? tanyaku polos.

“Sudah,”.

“Kok gatal, kamu merasakan sakit,”.

“Tidak, tadi ada semut,”.

“Semut ?,’’.

“Ia semut, aku mau BAB dulu,”.

Sambung telepone kami terputus begitu saja, aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya malam ini, tidak seperti biasanya dia membalasku dengan satu dua kata seperti itu, biasa aku harus menunggu rangkaian katanya habis agar bisa bicara itupun kada dia memotong kata-kataku. Karena ia mengatakan ingin BAB, ku simpulkan ia sedang kebelet dan tidak ingin menganggunya.

Hari sudah pagi, ini kali pertamaku tidur tanpa mengenggam tangannya di ujung telepone, kali pertama kami menghabiskan malam tanpa telephonan. Aku segera mangambil handphone dengan perasaan cemas dia menelphoneku tapi aku tertidur dan tidak mendengarnya, ternyata aku salah, dia memang tidak menelponku. Aku berusaha merabah penyebabnya, apa ini ada hubungannya dengan kata-katanya tiba-tiba sesingkat dan sedingin itu padaku atau sakit perutnya membuatnya sakit malam tadi.

Jam sekarang menunjukkan pukul 7.15 pagi dan aku ada jadwal kuliah jam 8 pagi. Aku bergegas mandi dan bersiap ke kampus, sebetulnya ingin segera menemuinya juga. Sampai di kampus aku betemu Fauzan di parkiran, Fauzan langsung menjamuku dengan candaannya yang tak sanggup ku tolak, aku seolah haus akan candaanya. Tidak lama dia, kekasihku datang dengan scooter kesayangannya lengkap dengan helm jadul bertuliskan “Lelaki idaman itu pecinta Vespa”. Setibanya dia, Fauzan langsung apmit ke kelas, katanya ada tugas yang ingin ia kerjakan, entah tugas yang mana.

“Selamat pagi sayang, senyum dulu, hemm kok gitu ekspresinya ?, ayo dong senyum,” rayuku padanya hingga ia tersenyum.

“Nahkan, gantengnya balik lagi, tadi gantengnya sempat hilang, eh  aku mau ngomong dong,”.

Dosen kami datang, kami pun ke kelas dan dia tidak menjawabku. Aku biasa saja karena fikirku ini sudah jam kuliah lagi pula dosennya sudsh hadir. Kuliah hari ini berjalan lama dan diakhiri dengan pembagian kelompok, seperti biasa kami satu kelompok tapi ada yang baru dari kelompok kami, ada Fauzan. Aku senang karena akan ada yang memecah suasna serius kala kami mengerjakan tugas nanti.

“Kamu senangkan ?,”.

“Tentu aku senang, kan ada kamu,” godaku.

“Aku atau ada Fauzan di kelompok kita ?,”.

“Maksud kamu apa ?,”.

“Sudah jujur saja, aku melihatmu tertawa terlihat bahagia bersama Fauzan di atas motor kemarin, aku memperhatikanmu secara detail sepanjang jalan, kamu juga mengabaikanku. Kemarin aku minta berhenti, aku haus ingin air tapi kamu abai,’’.

“Soal air aku tidak dengar kamu bilang berhenti,”.

“Ia karena kamu terlalu asik dengan Fauzan, lihat saja nanti kerja kelompok kita pasti asik, kan ada Fauzan, iakan ?,”.

Aku terenyum lebar mendenganya, ekpresinya membuatku tertawa tapi dia meningkatkan marahnya. Ku fikir aku harus melakukan sesuatu untuk membujuknya. Sontak aku tinggalkan dia di kelas dan bergegas ke parkiran mencari scooternya. Ku tempelken styki note berwarna biru tepat diatas kilometer scooter tua itu.

“Aku tunggu di kantin kampus, aku lapar,”.

Aku menunggunya di kantin dengan semangkok mie ayam di depanku, aku tidak menyiapkan untuknya. Aku ingin mengingatkannya pada moment dimana pertama kali aku merasakan jantung berdebar karena wangi bayinya yang khas itu. Aku melihatnya berjalan menujuh kantin. Sontak ku lahap mie ayak di depanku hingga menyisahkan kuah, aku harap dia mengatakan hal yang sama seperti kala itu.

“Kamu lapar atau kerasukan,” katanya dari belakang.

“Apa ?,”.

“Kamu lapar atau kerasukan ?,”.

“Aku tidak mendengarnya, katakan sekali lagi,”.

Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku dan mengulang pertanyaannya, dengan cepat ku palingkan wajahku ke arahnya dan ku tatap dia dengan manis, ada kalimat yang ku siapkan dalam mataku, aku ingin dia membacanya dan berhenti bersikap dingin padaku. Lama dan ku minta ia duduk di depanku.

“Kamu ingat, kejadian ini pernah terjadi sebelumnya ?,”

“Ia ingat,”.

“Waktu itu kita ada hubungan tapi akan aku beri tahu jika waktu iu adalah pertama kali  jantungku berdetak kencang, aku merasa sesak tapi suka, aku ingin menghentikan waktu dan berlama-lama menatapmu. Dan hari ini perasaanku tepat sama seperti waktu itu,”.

“Artinya,” tanyanya tajam.

“Aku masih sama, mencintaimu. Hatiku tidak akan berubah terhadapmu, tawaku dengan yang lain tak pantas kamu cemburui sebab mereka bukan bandinganmu yang mampu membuat detak jantungku seperti ini. tolong jangan seperti ini, aku tidak sanggup melihatmu seperti ini,” kutatap matanya dengan posisi tanganku ku letakkan tepat di dadanya berusaha ku yakinkan sayangku.

“Maaf aku cemburu, aku tidak suka melihatmu tertawa dengan yang lain, aku terlalu egois ingin membuat tertawa seorang diri,”.

“Aku suka kamu cemburu,” ucapku padanya dan berdiri bergegas meninggalkan kantin dengan menarik tangannya berjalan menuju parkiran.

*********

Aku, dia, dan Fauzan semakin hari semakin sering bersama, kami menjadi teman se genk dalam kelas kami yang hampir tidak terpisahkan. Rumah Fauzan masih jadi pilihan kami menghabiskan waktu senggang, tak jarang ku ajak mereka main ke rumah walau sekedar bermain catur di tokoh ibuku.

Selain Fauzan ada Susi, Susi satu-satunya teman kelasku yang tidak mengenakan jilbab. Awalnya ia tinggal bersama tantenya, dia mahasiswa sari luar kota. Sejak mempunyai masalah denga tantenya ia memilih tinggal di ngekost layaknya mahasiswa yang berasal dari luar kota lainnya. Kami bertiga membantunya mencari kosan yang tepat, untuk sementara waktu ku tawari Susi untuk tinggal di rumahku sampai menemukan kosan yang tepat. Sekarang kami kemana-mana berempat, aku bersama dia sedang Fauzan bersama Susi, kami bukan double copel, Susi mempunyai kekasih begitupun Fauzan tapi mereka mempunyai masalah yang sama yaitu broken home, masalah itu yang membuat mereka begitu akrab walau baru beberapa waktu kenal dekat.

Suatu hari, kami mengerjakan projek kampus yang tentunya banyak kucuran dana dari pihak kampus. Aku, Susi, dan Fauzan sempat menggunakan sebagian dana untuk keperluan pribadi kami, yang tahu jumlah dananya hanya kami berempat jadi kami bebas memaikannya. Dia tau soal penggunaan dana itu, ia memintaku untuk menggantinya kelak, katanya ini soal tanggungjawab dan bagaimana kita menjaga kepercayaan terhadap diri sendiri dan tentunya pihak kampus walau kami tidak dimintai LPJ.

Kami menjalankan projek tersebut dengan meminta bantuan teman yang lain tanpa memberitahukan bahwa kampus memberikan dana untuk mendukung projek kami. Karena dia adalah orang yang lumayan sibuk dengan segala urusan keluarga dan tokohnya dia lebih sering tidak hadir ketika kami mengadakan pertemuan dan kami bisa memaklumi, bagi kami yang terpenting dalam persahabatan adalah saling percaya dan saling melengkapi.

Waktu sudah sore, aku merasa sangat lelah dengan semua pekerjaan yang diambang deadline itu, tiga malam terakhir aku tidur diatas jam dua waktu dini hari dan harus bangun jam enam pagi bersiap ke kampus. Hari ini hari pertamaku menstruasi, aku sensitif dengan segalah hal, aku tidak suka ada yang menegurku. Aku bukan tidak ingin mendengarkan siapapun, aku hanya ingin mereka mengerti lelahku.

Dia datang dengan muka yang ditekuk dan duduk di sampingku, aku hanya diam tidak menyapa sama sekali. Tiba-tiba dia menanyakan uang yang ku gunakan kemarin, aku merasa dia tidak mempercayaiku, aku menatapnya curiga dan berkata:

“Kenapa, kamu tidak percaya aku akan ganti ?,”.

“Aku hanya bertanya, jangan marah ah jelek,”.

Aku diam dan melajutkan pekerjaanku, aku berharap dia akan memantuku tanpa ku minta tapi dia mala mengeluarkan handphonenya dan main game. Susi dan Fauzan datang membawa barang-barang baru menambah kerjaanku.

“Kapan selesainya, aku capek,” teriakku.

“Ini makan dulu, tadi aku beli makanan, tenang bukan utang ini masih pakai uang kampus, gratis,” kata Susi sambil memberiku kotak makanan.

“Aku temani makanan ya, aku juga lapar,” kata Fauzan.

“Silahkan saja,” kataku.

Sesekali Fauzan mengambil lauk yang ada dalam kotak makanku dan ku biarkan saja, aku sedang tidak mengatakan apapun apalagi sama Fauzan sebab ku pastikan jawabannya akan panjang. Aku tidak sadar kalau dia memperhatikanku.

“Sayang aku pulang ya, ada kerjaan di tokoh,”.

“Temani aku please, aku sedang membutuhkanmu,” pintaku memelas agar ia tetap tingga.

“Di tokoh lagi banyak kerjaan, minta ditemani Fauzan saja, kalian cocok,” katanya dan berlalu.

“Tunggu, aku mau ngomong (kataku sambil berdiri menghampirinya di depan pintu) tolong jangan menambah fikiranku aku sudah cukup lelah dengan pekerjaan yang tidak berujung ini, percaya sama aku, aku mulikmu sekarang dan nanti,” ku katakan semua itu karena aku tahu ada ceburu dan matanya yang memaksanya pulang lebih awal.

“Maafkan aku, aku tidak ingin menyaksikanmu seperti tadi. Biar aku pulang saja, aku percaya hatimu tapi mataku tidak ingin melihatmu makan berdua seperti tadi. Aku pulang bukan karena marah tapi sayang. Tolong tidur lebih awal malam ini, aku rindu berbincang dengan dibalik telepone, sejak projek ini ada aku kesulitan menghubungimu,” ucapnya sambil mengekus kepalaku.

“Aku butuh  tangan dan bahumu untuk malam nanti, jangan lupa menelphoneku sayang, aku mencintaimu,”.

Diapun pergi, ak tahu betul ia ingin menemaniku tapi cemburunya tidak terkontrol. Aku juga tahu jika ia sedang menahan diri untuk mengatakan sesuatu sebab jika cemburu sudah  mengusainya ia sering mengeluakan kata-kata yang kurang enak di dengar.

Aku paham hubungan tidak selamanya tentang aku dan dia harus bahagia berdua, hubungan itu tentang kami dan interaksi kami dengan orang lain, bagaimana kami berinteraksi dengan orang lain tanpa membuat satu sama lain merasa dibaikan. Hubungan kami mulai dibumbuhi rasa cemburu satu sama lain yang tidak jarang membuat kami terlibat cekcok, bahkan pernah tidak saling menyapa selama tiga hari.

Egois, selama terlibat cekcok aku tidak pernah meminta maaf padanya sekalipun, tugasku hanya memberi maaf tidak untuk meminta dan tugasnya adalah meminta maafku. Egois bagi sebagain orang adalah wajar bagiku, bukankah perempuan selalu benar dan tidak akan salah dalam soal hubungan ?. lebih egois mana aku yang tidak ingin meminta maaf atau cemburu yang sering datang memperkeruh hati ? bukannya yang terpenting adalah tetap menjaga cinta ?, seegois-sgoisnya aku, aku adalah wanita yang komitmen akan apa yang suda aku putuskan dan sejak awal ku putuskan mencintainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Bagaimana St Hartina Menjadi Identitasku

Celoteh Maya Gita: Hai diriku !

Mengapa Harus Menginspirasi ?