A Man Who Must Not Be Named (9): Marahmu Terlalu Murka
Pagi itu buka akun sosmed
miliknya, disana kudapat obrolannya dengan akun yang bernama “Fitra Anggita”, isi obrolannya
membuatku risih, menurutku terlalu jauh untuk pembahasa seorang teman dengan
temannya, pembahasan tentang anak berapa hingga nama anaknya siapa.
Aku
fokus pada isi chatakun itu, yang mempermasalahkan status hubungan sosmedku
dengan sosmednya.
“Buat apa
kata-kata manismu, sepertinya kamu kirim, bukankah itu buat Dinda ?,” tanya akun Fitra.
“Dinda siapa ?,”
“Tunangan
kamu di sosmed, aku menerima pemberitahuannya tiga jam lalu,”.
“Itu hanya becanda sama teman, biar akunnya
terlihat keren,”.
Melihat
itu semua, aku menelponnya dan langsung memutuskan hubungan kami. Aku hancur
melihat obrolan terakhir itu.
“Tolong jangan cari aku lagi, sekarang aku
mengerti kenapa begitu banyak perbedaan antara kita, ternyata Tuhan hanya ingin
memberitahuku tentang sifatmu yang sebenarny yag tidak lebih dari seorang
lelaki pembual. Kita putus aku menyesal pernah mencintaimu terlalu dalam. Asal
kamu tahu waktu aku di rumah saudara aku bukan tidak punya sinyal membalasa
pesanmu, semua pesanmu masuk dan aku baca tapi sengaja tidak aku balas, aku
ingin tahu seperti apa kamu, acuhmu kala itu ternyata karena Indah, sudah ikt
saja dengan perempua itu. Kita Putus,” tulisku panjang pada pesan whatapp.
“Aku bisa jelaskan, kamu di rumah kan,
tunggu aku,” balasnya.
“Jangan coba-coba ke rumah sekarang, kalau
kamu ke rumah aku akan keluar, aku sedang tidak ingin betemu. Kalau kamu tetap
berusaha menemuiku aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu,” aku balas
pesannya dan mematikan telephone agar tidak lagi mendapatkan pesan darinya.
Sejak
saat itu aku benar-benar tidak ingin menemuinya, kontaknya aku blokir dan aku
memilih keluar kota. Mungkin ininkarena masih ada cinta di hatiku, aku membuka
blokirnya enam jam setelahnya. Aku ternyata tidak sanggup tanpa kabarnya tapi
aku juga tidak ingin menarik kata-kataku padanya, keputusanku sudah benar untuk
putus dengannya kali ini, aku sudah ada bukti.
Sebulan
sudah berlalu tapi sakit hatiku belum juga sembuh, aku tidak pernah bertemu
dengannya. Aku memilih tidak ikut kuliah hanya untuk menghindarinya hingga
suatu hari dia mengirimkan pesan padaku.
“Tolong datang kuliah, aku janji tidak akan menggangumu,
masa depanmu jangan hancur karena. Jujur aku masih ingin menjelaskan
kesalapahaman yang membuatmu seperti ini, kalau kamu sudah siap katakan saja
padaku,’’ tulisnya.
Bagiku
pesan itu hanya pesan dari seorang bapak yang ingin meredahkan tangis anaknya
ketika mainannya direbut temanna, hanya untuk menenankan seorang nayi terkadang
orangtua harus berbohong, dan itu yang sedang dia lakukan tapi aku tidak akan
termakan kali ini.
Aku
kembali kuliah seperti biasanya, aku bersikap seperti biasa tida ingin ada yang
tahu kalau hubungan kami telah berakhir, aku tidak ingin dia disalahkan
teman-temanku karena sedsri awal temanku melarangku berhubungan dengan dia.
Menurut temanku dia adalag lelaki aneh yang tidak normal karena memiliki banyak
perbedan dengan lelaki lainnya, contoh selerah makan dan main, dia lebih suka
mengabiskan waktunya di rumah daripada harus kelayapan. Dengaku saja ia hanya
mengajakku ke pantai menikmati magic hour dan bertamu ke rumah atau makan di
kantin jika ingin menghabiskan waktu denganku. Fakta-fakta itu bertabrakan di
kepalaku. Aku mengaitkan semua yang pernah ku alami, kelakuannya dan kata
temanku-temanku yang akhirnya ku simpukan ia memang salah, aku bodoh telah
pernah menyukainya. Salah maksudku masih menyukainya.
Aku
mencoba menjalani hidupku seperti biasanya tanpa menghapus komunikasi
dengannya, kami mash komunikasi tapi hanya di kampus untuk menutupi semua dari
teman-teman. Dia masih meminta waktuku untuk menjelaskan semuanya tapi selalu
saja ku alihkan bahkan ku tinggal pergi jika pembahan sudah mengarah kesana.
Dia
berubah, sekarang dia aktif bersosial media, banyak statusnya yang bermaksdu
minta maaf pada seseorang, aku tidak tahu siapa seseorang itu, entah itu aku
atau bukan. Suatu sore aku mendapati potstingannya.
“Mau sampai kapan kamu akan diam, aku tidak akan
menyerah,’’.
Aku
merasa yang dia maksud selama ini dalam statusnya dia itu aku tapi aku menaha
diri untuk menanyakannya hingga pada suatu hari aku harus keluar kota dengan
ibuku karena omku sakit. Aku menelphone Fauzan untuk mengecek motorku, aku
bilang aku akan keluar kota motor.
Aku
pergi tanpa memberitahunya langsung atau sekedar pasang postingan di medsos
agar ia melihatnya, hanya Fauzan yang tahu aku sedang dalam perjalan. Setibanya
aku di tempat kota Palup aku melihat postingannya.
“Hei kamu, hati-hati ya bawa motor perjalanan jauh, jangan
lupa istirahat kalau capek,” statusnya.
“Kalau orang yang kamu maksud itu aku jangan khawatir, aku
sudah sampai,”
komentarku.
“Siapa lagi wanita aku khawatirkan selain kamu, aku tidak
pernah menyimpan wanita lain dalam hatiku, kenapa ke Palu tidak memberitahuku,
kenapa Fauzan yang kamu kasi tahu,”. Balasnya.
“Kata-katamu terlalu manis tapi aku tidak menyukai yang
manis-manis, sekarang selera aku yang kecut kepahit-pahitan, sudah jangan
mengkhawatirkanku arahkan saja semua perhatianmu ke Indah,” balasku.
“Aku bisa jelaskan semuanya, aku akan menunggumu mau
mendengarkanku, akan menunggu,”. Singkatnya.
Aku
memang belum bisa melupakannya, aku masih menyukainya tapi rasa kecewaku
melihat obrolannya dengan Indah tidak bisa ku lupakan, kepalaku sudah tidak
berfikir lain. Aku tidak bisa berbuat apa-apa disaat kepala dan hatiku
mengatkan hal yang berbeda, mungkin aku akan tegas melupakan atau mungkin
kembali jika saja hati dan kepalaku mengatakan hal yang sama. Ternyata benar,
pertengkaran terparah dan tidak bersolusi adalah pertengkaran antara hati dan
kepala.
“Lupakan saja aku, cari saja wanita yang lebih bisa
mengertimu lebih dari aku mengerti, tapi aku pastikan tidak akan ada yang
mengertimu lebih dari aku mengertimu,”.
Aku
masih ingat betul, itu adalah pesan yang ku kirimkan dulu waktu aku ingin minta
putus. Apa sekarang dia sudah menemukan yang lain atau memang tidak ada yang
sebaik diriku.
.png)
Komentar
Posting Komentar