A Man Who Must Not Be Named (5): Aku Ingin Menjadikanmu Satu-Satunya
12
Juli 2016, Hari ini tepat satu tahun kami menjalani hubungan ini, siapa sangka
hubungan yang dimulai dengan kontrak sebulan bisa sampai satu tahun ? sudah 11
bulan kami melanggar perjanjian kami, beruntung ini bukan soal hukum perjanjian
yang apabila salah satu pihak mengingkari maka pihak lain dapat menuntut, jika
tidak dia akan menuntutku dengan hukuman yang sangat berat sebab telah
mencintainya sejauh ini. Jika saja itu terjadi, telah aku siapkan kalimat
pembela dalam persidangan nanti, kalimat yang telah ku fikirkan jauh hari
sebelum ku pilih terjebak dalam kisah asmara bersamanya. Bukankah hukum tidak
negatur tentang hati ? dan bukankah hati dan perasaan ada dalam nilai dan norma
yang menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan
Peraturan Perundang-undangan letal nilai dan norma itu diatas dari konstitusi
negar ini ? bukankah itu menguatkan
untuk mencintaimu dari segi hukum.
Dia yang
tidak ingin disebut namanya, dia yang satu tahun ini ku panggil “Din” sebab jika berkata jangan sebut
namaku maka ku jawab:
“Aku
memanggil diriku sendiri. Namaku Dinda bukan ? dan sebenarnya ada diriku dalam
dirimu maka biarkan ku panggil kamu “Din”, nama itu cukup mewakili separuh aku
dan separuh kamu bukan ?,’’
Dia
bukan lelaki yang begitu romantis layaknya budak cinta lain, dia adalah seorang
yang keras tapi sekeras-kerasnya dia, dia adalah makhluk Tuhan yang paling
jinak di depanku, dia adalah jiwa keras yang seketika rungkuh di hadapanku, dia
bak king fruit yang keras berduri dari luar namun halus dan nikmat di dalamnya,
wanginya tak segan memabukkan hingga membunuh manusia yang tidak menyukainya
dan mampu membuat seorang yang menyukainya melayang tanpa sayap, bukankah
seperti itu hakikat dari king fruit ?.
“Lama sudah kau menenami
Langkah kaki disepanjang
perjalanan
Hidup penuh cinta,
Kau adalah bagian hidupku
Dan akupun menjadi bagian dalam
hidupmu
Yang tak terpisah,
Kau bagaikan angin dibawah
sayapku,
Sediri aku tak bisa seimbang,
Apa jadinya bila kau tak disisi,
Meskipun aku di syurga mungkin aku
tak bahagia,
Bahagiaku tak sempurna bila itu tanpamu,
Aku ingin kau menjadi bidadariku
di syurga
Tempat terakhir melabuhkan hidup
di keabadian....,”
Rekaman
lagu “Tempat Terakhir’’ itu baru saja
masuk di whatsapp ku, suaranya tipis halus tapi merdu, aku suka lirik lagu yang
belakangan ku tahu itu lagu Padi, salah satu group band di negara ini. Ku putar
lagu rekaman berdurasi 5.34 menit itu hingga pada menit ke 4.23 terselip kalimat
yang mampu membuatku ketawa sendiri, membuatku mengawan di atas tempat tidur,
mendebarkan jantung mengetuk seluruh nadiku, perasaan itu tidak dapat ku
gambarkan walau dengan krayon edisi manapun, dia hanya mampu ku rasa dan ku
ceritakan dalam diam pada setiap sudut gelap dalam kamarku.
“Selamat hari jadi sayang, semoga suaraku dapat menjadi
lagu pengantar tidurmu malam ini, maaf tidak ku bawakan kue atau pun mengajakmu
keluar sekedar merayakan pukul 00.00 kita, bukannya aku tidak romantis tapi aku
terlalu menyayangimu, aku tidak ingin ada yang melihatmu di luar rumah diatas
jam 10 malam, kamu terlalu bersinar untuk berkeliaran di luar rumah, yang
sebenarnya aku tidak sanggup menjelaskan pada dunia jika pada pukul 00.00 ada
matahari berjalan menerangi mereka. Jangan lakukan itu, cukup aku yang kamu
terangi. Sudah kau genggam tanganku malam ni ? jika iya eratkan genggamanmu dan
tidurlah, jagan menelphone atau balas pesanku walau kau ingin membalasnya,
simpan saja balasanmu untuk temu yang akan ku hantarkan esok hari, i love
you,”.
Dia
tidak pernah membuat lengkungan bibirku melangkah mundur, ia selalu ada segalah
bahagia yang ia ciptakan setiap hari. Walau malam ini aku tidur tanpa
mendengarnya ngorok aku tetap bahagia dengan kalimat yang selipkan dalam lagu
tadi.
Setahun
tahun ada rutinitas malam yang kami lakukan sebelum tidur, yakni menggenggam
tanganku jika ingin tidur dan mendengarkan suara ngoroknya sebelum aku tidur,
aku pantang tidur sebelum mendengarkan suara itu. Jika waktu telah menunjukkan
pukul 10.30 malam pasti dia menelphoneku cerita panjang lebar sampai pukul
11.15 an, setelah itu pasti akan ku katakan:
“Aku ngantuk, mana tanganmu, biar aku genggam aku agar
tidurku tidak seperti anak bayi yang berputar kesana kemari,”.
“Ini tanganku, bantalmu adalah bahu kananku, rambutmu
adalah wangi bius tidurku, jangan matikan telephonenya, biar saja putus dengan
sendirinya,’’.
Aku
menunggu suara ngoroknya di ujung telepone setiap malam, tak jarang ku rekam
suara itu dan kukirimkan sebelum aku tidur. Pernah suatu hari aku bangun pukul
4.00 waktu dini hari dan ku dapati panggilan kami mash terhubung. saat itu aku
menghadirkannya dalam do’aku dan ku jadikan namanya sebagai aminku.
“Tuhan, aku ingin suatu hari menggenggam tangannya di
tempat tidur yang sama, aku ingin perkataan kami di ujung percapakan telepone
setiap malamnya menjadi nyata, aku ingin menjadikannya satu-satunya,
satu-satunya yang ku andalkan dalam hal membahagiakan dan melindungiku di dunia
ini setelah ibuku, jodohkan Tuhan, Din (Ini kali pertama ku sebut namanya) kamu
adalah aminku kali ini,” ucapku dalam tahajud hari pertama di tahun kedua kami.
Seminggu
kemudian, aku merasa dingin telah menggerogoti tubuh hingga menembus tulang
belulangku, tapi kata ibu badanku pasan bak bara api, aku berdiam diri di kamar
seharian sampai aku merasa lapar.
“Aku mau makan Bakso bakar, aku demam,” laporku padanya.
Sore itu
dia datang dengan sekotak sambusa dan dua macam obat demam yang katanya ia beli
di Apotik sebelum ke rumah. Setelah makan aku tidur, aku sempat mendengarnya
mengatakan sesuatu tapi tidak aku hiraukan.
“Aku suka dan benci melihatmu sakit, aku suka menatapmu
tertidur seperti ini, aku senang dapat melihatmu tertidur di atas tempat tidur
secara langsung seperti ini, obrolan kita di ujung telephone selalu menjadi
semogaku, dan aku melihatnya sekarang, apa boleh aku izin baring di sampingmu
walau beberapa detik. Tapi aku tidak suka melihatmu lemah seperti ini, aku
lebih suka kamu yang menjamuku dengan
cerita aneh setiap aku bertamu ke rumahmu, besok kamu harus sembuh, jika
tidak aku akan menuntut Tuhan yang menakdirkanmu sakit terlalu lama,”.
**********
“Aku ingin membuat perubahan dalam dirimu” niat itu seketika mengisi
kepalaku, aku harus mampu membuatnya menjadi manusia sosial, ikut organisasi,
humor, berani menyatakan sikap, berani mengungkapkan suara. Itu adalah sederet
keinginanku saat ini, sebab semua itu tidak dia miliki. Karena kamu istimewa
maka ingin ku perlihatkan pada semua orang keistimewaanmu, bila saja nanti ada
yang berniat mengambilmu dariku aku tidak takut, bukankah kamu hanya
mencintaiku ?.
Enam
bulan berlalu begitu cepat, dia kini menjadi seorang yang berbedah, lebih rama
dari biasanya, lebih peduli sesama dari biasanya, dan tentunya lebih gagah dari
biasanya. Aku senang melihatnya seperti ini, walau tidak dapat ku pungkiri
terkadang aku cemburu melihatnya bercerita dengan wanita lain begitu akrab, aku
seakan tidak ingin ada wanita lain yang akrab dengannya selain aku dan ibunya.
Tapi perasaan itu tidak aku sampaikan, aku fokus pada niat awalku ingin
mengubahnya.
Sore
menjelang petang, aku mengajaknya menikmati magic hour di gazebo pantai kota
purba ini, aku duduk sambil menyenderkan kepalaku ke bahunya menikmati indahnya
jingga yang perlahan hilang ke tengah laut. Tidak ada satu kata pun yang keluar
dari mulutnya, sebenarnya aku ingin menyampaikan cemburu tapi tidak ku temukan
kata yang tepat untuk menyampikannya, satu tahun enam bulan ini terlalu manis
untukku dan aku tidak ingin cemburu kecil ini mencapurkan rasa kecut dalam
manisnya hubungan kami. Aku merasa tidak tenang, hingga akhirnya ku katakan
padanya:
“Sayang, jika suatu hari nanti aku ada salah apa kamu akan
memafkanku ?,”.
“kamu mau melakukan kesalahan, lakukan saja,”.
“Tidak, aku hanya berumpama, bukannya setiap manusia pasti
pernah melakukan kesalahan,’’.
“Katakan, salah apa yang sedang kamu rencanakan, biar ku
siapkan diriku sedari sekarang,”.
“Cemburu,” bisikku.
Dia
tersenyum mendengar satu kata itu keluar dari mulutku, dari senyumannya ku
simpulkan dia menyukai kataku. Ini kali pertamaku mengucapkan kata itu padanya.
“Kenapa tersenyum ? ada yang salah dengan kataku barusan
?,”.
“Cemburu, kata itu yang aku tunggu kamu ucapkan selama
ini, akhirnya hari ini aku mendengarnya,”.
“Bukan cemburu, aku hanya kurang suka melihatmu terlalu
asik bercerita dengan wanita lain, aku ingin menjadi satu-satunya wanita yang
akrab denganmu, aku ingin senyum dan antusiasmu hanya saat bicara kepadaku
saja,”.
“Aku sebenarnya suka melihatmu cemburu, cemburumu adalah
sayangmu bukan ?, tolong jangan besarkan cemburu aku tidak ingin cemburumu
menciptakan ragu dalam hatimu,”.
“Bagaimana jika suatu saat cemburuku membesar ?,”
“Marah saja, itukan yang kamu fikirkan.
Silahkan marah semaumu tapi bagaimanapun marahmu jangan pernah katakan putus,
jangan pernah berfikir ingin mengakhiri hubungan
kita, kamu harus ingat jika masalah apapun bisa kita selesaikan asalkan kita
jujur satu sama lain, jangan pendam keluhmu terhadapku, itu pintaku,’’.
Aku
semakin yakin dengan sayangku padanya, dengan hadirnya cemburu dalam hatiku.
Aku kini percaya dengan lirik “cemburu
tanda, marah tandanya sayang....,”.
Dia
selalu membuatku jatuh dalam kata-katanya, dia satu-satunya lelaki dalam kisah
asmaraku yang sanggup menjatuhkanku sedalam-dalamnya padanya, dia selalu ada
dalam 24 jam setiap hariku, dia satu-satunya lelaki membuatku sanggup memasang
headset sepanjang hari, menyambungkan panggilan sepanjang hari tanpa mengatakan
apapun, hanya sekedar mendengarkan suaranya, sekedar mengetahui aktifitas
hariannya, aku hampir tahu siapa saja yang dia temui sepanjang hari dan apa
saja yang ia bahas. Dia tidak kaya, dia hanya mengandalkan paket CUG Telkomsel
untuk menelpon sebebasnya.
.png)
Komentar
Posting Komentar