A Man Who Must Not Be Named (8): Tolong Maafkan Khilafku
Memasuki musim Pemilu aku
mengambil kontrak dengan salah satu
lembaga survey perhitungan cepat dan bertugas di salah satu TPS pedalaman
Kabupaten Manarang, lumayan honornya bisa aku pakai untuk keperluan kuliah atau
mendanai kegiatan organisasiku. Aku diminta mencari teman yang siap ikut
bertugas di TPS dan nama yang pertama terlintas di kepalaku adalah Fauzan,
hobby Fauzan menelusuri pedalaman menurutku cocok untuk pekerjaan ini.
Setelah
Fauzan aku mengajak dia, aku berfikir ini waktu yang tepat untuk mengajaknya
keluar dari kebiasaannya dan mencoba dunia sosial. Aku harus berangkat besok
lusa dan besok aku harus memastikan siapa saja yang akan ikut bersmaku, niatku
mengajak dia semakin bulat.
“Haloo sayang, kamu mau tidak ikut jadi
petugas perhitungan cepat denganku di Manarang, sebagai enumerator ?,”
tanyaku tanpa berbasa basi karena harus menelpon teman yang lain.
“Mau, tapi aku tidak bisa sayang, aku juga
harus memilih apa lagi om aku juga mencalonkan, suara aku berharga buatnya,” dia
menolak ajakanku dengan candaannya.
‘‘Ya sudah, aku mau tanya teman-teman yang
lain dulu,”.
Aku
ingin sekali mengajaknya, bukan soal aku ingin dia keluar dari zona nyaman tapi
aku ingin menghabiskan waktu bersamanya
dalam perjalanan jauh seperti yang akan ku lakukan. Keesokan harinya kembali
kuminta dia untuk ikut bersamaku kali ini dia mengatakan bersedia tapi
kepastiannya baru akan diberikan sejam kedepan.
Aku
kembali menelponenya, dia bersedia ikut
asalkan aku menunda keberangkatan, dia ingin aku berangkat pada hari H tapi aku
menolaknya, ini terlalu beresiko. Aku takut terlambat sampai ke lokasi karena
setahuku untuk menuju kesana dibutuhkan waktu normal sembilan jam, tapi
sekarang sedang musim hujan dan berdasarkan berita yang aku dapat sekarang ini
sedang terjadi longsor di empat titik yang akan memperlama perjalanan kami,
belum lagi untuk mecari dimana TPS penempatan yang kata koordinatorku jauh dari
pusat kota, bisa sampai empat jam jarak tempuh.
“Tidak bisa, kita harus berangkat besok,
kalo berangkat d hari akan telat,” kataku sedikit meninggikan suara.
“Tapi aku tidak bisa, aku harus menyalurkan
suara dulu,” katanya.
“Kamu harus pastikan mau ikut atau tidak,”.
“Bagaimana dengan suaraku ?,”.
“Golput,” jawabku singkat.
“Coba kamu ada di posisiku, bagaimana
perasaanmu jika keluargamu membutuhkan suaramu tapi kamu membuang suara itu
dengan percuma. Kamu bisa tidak sih memperbaiki kata-katamu, kamu fikir golput
itu solusi. Dengan gampang kamu bilang golput,”.
Tut tut tut.......
Sambungan
telepone itu mati, aku heran apa salah aku menjawab golput, bukankah solisinya
memang seperti itu, atau tinggal saja di rumah tidak perlu memaksakan diri
untuk ikut aku juga tidak memaksa. Aku menjawabnya dengan tegas “golput” karena aku kenal dia, dia
adalah lelaki yang yang tidak suka basa basi, dia selalu bilang “langsung ke point saja”. Aku tidak
salah !
Aku
pamit dengan mengirimkan pesan singkat padanya yang sampai aku keluar dari kota
ini belum mendapat balasan, sepertinya dia belum membaca pesanku. Aku berharap
menerima balasan pesan darinya. Aku berhenti memelototi handphoneku sebab harus berangkat sekarang aku mengendarai
motor dengan jarak tempuh yang cukup lama, belum berangkat saja aku sudah
merasakan lelah ditambah lagi dengan pesan singkat yang tak kunjung mendapatkan
balasan itu membuatku kehilangan mood.
Delapan
jam berlalu, kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan untuk mengisi kampung
tengah yang sedari tadi mengeluarkan dering lapar. Aku mengeluarkan handphoneku
dari tas berharap mendapat balasan pesan dia, jujur saja aku memikirkan kata “golput” yang ku lontarkan padanya, aku
takut dia marah, aku ingin menelponnya tapi aku harus meneruskan perjalananku
karena hari sudah mulai gelap sedang perjalananku masih sangat panjang.
Kenapa
dia tidak mengirimkan pesan apapun, apa dia tidak tahu kalau aku sedang
merindukannya, aku membutuhkan dia menyemangatiku. Tiga hari berlalu, aku belum
menerima pesan apapun darinya. Jujur aku kecewa, aku merasa diabaikan, tidak
diperdulikan, dia bisa mendiamiku selama ini. ini tidak seperti biasanya.
Aku
memutuskan tidak menunjukkan wajahku padanya, aku ke luar kota ke rumah
saudaraku yang tinggal di tengah
perkebunan sawit, disana susah sinyal, untuk mendapatkan sila aku harus
menempekan handphoneku di din-ding rumah atau jendela, bergeser sedikit sinyal
langsung hilang. Aku berharap bisa meluakannya sejenak walau sebenarnya aku
sangat merindukan suaranya di balik telephone setiap malamku. Aku kecewa dengan
sikpanya yang tidak peduli denganku, dia tidak tahu bagaimana medan yang ku
lewati temp hari, gelapnya malam, hujan, longsor, dia sama sekali tidak
menghawatirkanku.
Ini
sudah seminggu tapi dia belum mengontakku sama sekali, apa hubungan kami harus
berakhir seperti ini, dimana janji yang dia ucapkan tempo hari ingin
menjadikanku istrinya.
“Selamat malam sayang, maaf atas kabarku
yang tidak ada beberapa hari ini, kemarin waktu kamu ingin berangkat ke
Manarang handphoneku jatuh dan rusak, aku khwatir kamu menunggu kabarku tapi
aku tidak berdaya, ingin pinjam handphone orang tapi malu,”.
Tanpa
berfikir panjang aku langsung menelponnya,
“Maafkan kata-kataku kemarin, aku salah,”.
“Hemm, lupakan saja. Kamu dimana, kemarin
aku ke rumahmu tapi kata ibumu kamu ke luar kota,’’.
“Ia, aku di rumah kakakku, minggu depan aku
pulang,”.
Sejujurnya
aku masih kesal, aku bukan tidak percaya padaya, tapi apa mungkin ia malu
pinjam handphone, bukanny dia punya handphone khusus di tokonya yang awal kenal
sering digunakan menghubungiku menawaran hadiah. Aku merasakan ada yang aneh
tapi malas menyampaikannya, cukup ku diamkam saja, aku sedang tidak ingin
bertengkar. Aku tidak ingin pembahasan melebar sudah syukur dia masih
menghubungiku.
Hubungan
kami kembali normal, handphoneku kembali ramai dengan pesan dan telephonnya
hingga suatu malam aku berbohong kalau aku saudaraku melarangku pacaran jadi
tolong jangan menelphoneku selama di sini dan juga di sini susah sinyal jadi ku
minta dia mengerti jika saja pesannya terlambat aku balas. Ada belasan pesan
yang kirimkan pagi ini tapi tidak satupun yang aku balas, aku sengaja karena
kesal mngingatnya yang sampai hati tidak memberiku kabar. aku fikir dia harus
merasakan apa yang aku rasakan, aku tidak lagi memikirkan perasaannya.
Aku
kembali ke rumah karena jadwal perkuliahan sudah mulai berjalan, aku baru saja
sampai jampus, aku melihatnya sedang asik bercerita dengan seorang wanita yang
tinnginya lebih dariku. Wanita itu
menggunakan kaca mata seperti yang digunakan Daniel Jacob saat memerankan
karakter Harry Potter dalam karya JK Wroling. Aku menghampiri mereka tapi
kehadiranku sama sekali tidak terlihat, mereka tetap dengan cerita tanpa
menyapaku sama sekali. Setelah wanita itu pergi baru dia menyapaku.
“Eh kamu, sejak kapan disitu,”.
“Barusaja,” kataku cuek dan berlalu pergi.
Aku
marah dan kecewa tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan semuanya
padanya. Ini terlalu keterlaluan untuk dibicarakan, seharusnya ia mengerti
persaanku. Dering handphoneku berbunyi tanda panggilan darinya, dia menelponeku
disaat perasaanku sedang mendidih. Aku takut kelepasan kata tapi mulutku gatal
ingi mengatakan semua yang ku rasakan padanya.
“Haloo, aku ingin bicara serius denganmu, terlalu banyak
perbedaan diantara kita, mulai dari selera makan, pergaulan hingga hal kecil
mengakui sama lain saja kita selalu ribut, kita memang harus pisah,”.
“Kamu kenapa sih ?, kenapa setiap ada masalah selalu saja
minta pisah, ini yang buat aku capek sama kamu. Kamu bisa tidak menghadapi
masalah dengan kepala dingin,”.
“Kamu fikir aku tidak sakit menunggu kabarmu beberapa hari
kemarin ? kamu fikir aku tidak sakit melihatmu dengan wanita lain tapi
melihatku patung disampingmu ? kamu fikir aku tidak sakit setiap ketemu temanku
selalu kenalkan dengan status teman ?,”.
“Semua bisa kita bicarakan, kita tidak harus pisah, mana
kamu yang dulu, yang ingin katanya apapun masalahnya jangan pernah katakan
pisah, mana kamu yang itu ?,”.
“Ini bukan soal menyelesaikan masalah dengan baik, ini
tentang kecocokan yang tidak menemukan titik temu, aku sudah cukup berusaha
mengubahmu tapi sama saja,”.
Tut tut tut....
Panggilan
itu akhiri, aku kehabisan kata-kata, aku benci diriku yang seperti ini, aku
benci bicara dengannya suara tersengal-sengal karena isak tangis. Aku menangis
karena dua hal, pertama karena sikapnya belakangan ini dan kedua karena aku
sadar kebiasaanku yang setiap saat ada masalah pasti minta putus, aku takut jik
ia mengiakan permintaanku, sebenarnya aku sangat menyayanginya tapi aku gengsi
mengatakannya terlalu jauh, aku ingin dia peka terhadap semua rasaku, apalagi
cemburuku, bukankah sebelumnya ia juga pernah cemburu ?.
Knock knock knock.....
“Siapa yang bertamu malam-malam begini ?,” tanyaku curiga.
Benar
saja, dia ada di depan rumah, seperti biasanya ia pasti menemuiku untuk
membicarakan masalah kami, menurutnya membicarakan masalah di telephone tidak
akan menemukan solusiyang ada akan memperbesar masalah. Dia juga tahu aku, aku
yang akan luluh seketika ketika melihatnya, sebesar apapun masalahnya jiwaku
selalu ringkih di hadapannya, aku seakan tidak memiliki kekuatan untuk
mengatakan hal yang buruk padanya. Aku tipe orang tidak bisa marah ketika
berhadapan langsung, dan itu ia jadikan senjata untuk menaklukkanku.
“Tolong maafkan khilafku, aku janji tidak mengulanginya,”.
“Kamu tahu aku, aku butuh pengakuanmu ke seluruh temanmu
agar aku tidak khawatr ada orang lain di hatimu. Dengan temanmu tahu kita
pacaran mereka tidak akan melayanimu jika besok kamu menggodanya karena dia
tahu kalo kamu milik aku, begitupun sebalikya,”.
“Aku janji,”.
“Sudah pulang sana, ini sudah sangat malam, kasihan kamu
kejauhan, rumah kita ada di kabupaten yang berbeda tau,”.
“Sejam doang, yasudah aku pulang, aku telepon ya temani
aku pulang lewat telephone ya sayang,”.
Keesokan
harinya aku mendapatkan notifikasi dari facebook, dia membuat status
bertunangan denganku. Aku heran buat apa dia melakukan itu, aku kenal dia, dia
buka type lelaki lebay bermedia sosial, lihat saja postingannya hanya postingan
hasil tag dari akun lain, postingan terakhirnya memang ada sajak, tapi itu aku
yang posting karena menurutku akun sosmednya terlalu horor.
“Buat apa kamu melakukan itu, itu bukan kamu,”.
“Aku sudah janji dengan diriku sendiri akan melakukan itu
jika kamu memaafkanku, aku minta jangan minta pisah lagi,”.
.png)
Komentar
Posting Komentar