Menjelajah Pedalaman Mamasa dalam Beberapa Jam
Telah dipublikasi di karakterunsulbar.com pada 2 Juli 2018, pertama kali membuat tulisan dalam bentuk feature, biasanya straight news. Sayang saja kalau hilang termakan waktu, baiknya diabadikan juga disini, untuk ke karakter sila buka https://karakterunsulbar.com/2018/07/02/kisah-mahasiswa-unsulbar-jadi-ujung-tombak-hitung-cepat-pilkada/
Kisah Mahasiswa Unsulbar, Jadi Ujung Tombak Hitung Cepat Pilkada
Rabu, 26 Juni 2018, tepat pukul 8.00 Wita dengan menggunakan sepeda motor berwarna merah dengan tulisan Vega ZR, sebut saja dia si merah. wajah kuning mentari mengiringi perputaran roda sepeda motorku dari kota Majene hingga Polewali Mandar (Polman).
Kala itu, tak hanya si merah tapi si putih dan si hitam yang masing-masing tak dikendarai seorang mahasiswa berambut agak kriting, beralis lebat, yang satu bertubuh pendek agak melebar, dan yang satunya berbadan kekar dengan tinggi 167 CM.
Bersama dengan surat tugas bernomor 2.281/QC/IND-ST/VI/2018 diberikan oleh Indikator Politik Indonesia yang bekerja sama dengan TVOne. Kami diberikan amanah sebagai Enumerator perhitungan cepat (Quick Count) dan Exit Poll Indikator Politik Indonesia.
Ketika roda menapaki aspal perbatasan kota Polman dan mamasa, wajah kuning mentari itu perlahan meredup di tengah kawalan kabut putih.
Kabut itu membuat kami tersugesti akan kata “dingin”, benar saja, salah seorang dari kami mulai mengenakan sarung tangan dengan alasan “dingin itu menembus tubuhku lewat kulit yang tidak tertutupi sehelai kainpun”. Andi Mutmainna Dewi, mahasiswa Pendidikan Matematika itu tidak memiliki pilihan lain untuk menangkal rasa dinginya.
Tak terasa, pukul 13.21 Wita, roda kini menapaki beton Mamasa yang konon akan diaspal dikemudian hari. Kabut itu masih mengiringi perjalanan kami, dingin itu tak kunjung hilang layaknya mentari yang hanya mengiring kami hingga Kota Polewali Mandar.
Dari perbatasan Polewali Mamasa kabut dan jalan berkeloklah terus kami susuri hingga kami terperangkap dalam lumpur yang membasahi jalan beton sepanjang kurang lebih 50 meter, pantas saja musim hujan tak jarang merobohkan dinding jalan.
Jalan berlumpur usai kami lalui hingga hari mulai gelap tak jarang mataku mulai melirik kiri kanan berharap didepan ada masjid untuk beribadah, maklum waktu adzar sudah masuk bahkan ingin berlalu.
Hingga di suatu desa, Sumarorong, terdapat masjid megah tepat di sebelah kiri jalan. Di masjid itu juga ada seorang laki-laki berpakaian serba loreng sedang melalukan ibadah Sholat, beruntung saja lelaki itu berasal dari Tinambung, Polman.
Hari semakin gelap, hingga tibalah kami dipertigaan jalan, jika lurus menuju kearah mamasa dan jika berbelok kearah Kecamatan Mambi dan Mehalaan. Itulah tempat tujuan kami, Mambi dan Mehalaan.
Jika tadi jalannya berlumpur, 1 kilometer dari pertigaan jalan kami tak lagi menapaki jalan beton, apalagi aspal. Kini roda kami silih berganti menapaki kerikil lepas dan jalan berlumpur, sesekali kubangan lumpur di tengah jalan pun kami jumpai.
Kiri jurang kanan tebing rawan reruntuhan terus jadi fokus tatapku, sesekali dari mulutku keluar kalimat “Astagfirullah Aladzim, Tuhan tau mana yang baik dan mana tidak, selamatkanlah kami”
5 jam lebih kami menapaki jalan itu, hari sudah gelap, tak ada cahaya lain selain lampu motor. Kami serasa berada ditengah hutan belantara yang tak berpenghuni.
Hingga kemudian kami menemukan, satu dua dua rumah yang berbau horor dengan cahaya redup dari ruang tamunya, tentu saja kami mampir bertanya tentang perjalan kami. Sebab kami khawatir di depan tidak ada perkampungan seperti yang kami bayangkan, Alhamdulillah jawaban baik kami dapatkan.
“Masih jauh bu, sekitaran 13 kilometer,” itu katanya
Bagaimana dengan jalannya bu? Kataku sambil menggosok-gosok kedua tanganku. “Baikji kesana jalan” jawab warga itu, yang dari logat bicaranya dia bersuku Bugis.
Empat kali kami bertanya, dengan jawaban yang sama pula “masih jauh” “10 kilometer lagi” “8 kilometer lagi” dan seterusnya hingga kami merasa dipermainkan dengan mereka yang kami tanya.
“Sebenarnya definisi jauh dekat meraka bagaimana” ujar Musyafir mahasiswa Ilmu Hukum, 2015 yang mengendarai motor denganku.
“Ini sudah sangat jauh, jalannya pun semakin parah” lanjutnya.
Saya hanya bisa menepuk pundaknya sambil berkata “sabarki, Insya Allah sampai jiki,” jawabku.
Hingga akhirnya, kami tiba di Desa Botteng Kecamatan Mehalaan, Mamasa, Ditempat itulah kami ditugaskan sebagai enumerator pada Pilkada Mamasa.
Karena penasaran dengan lamanya kami berkendara, salah seorang dari kami menanyakan jam, “sudah jam 23.06 wita” sahut Muh Nur Fauzi Mahasiswa Ilmu Hukum, 2015.
Perjalanan panjang yang melelahkan menuju Mehalaan, Mamasa. Namun, jadi enumerator Indikator untuk Pilkada Mamasa sungguh luar biasa. Selain bisa merasakan langsung keindahan Mamasa, kami juga dapat pengalaman dan ilmu mengenai pelaksanaan Pilkada serentak.
Saya bersama lebih 70 an mahasiswa Unsulbar terpilih sebagai enumerator hitung cepat. Kami tersebar secara acak di Mamasa. Kabupaten di pegunungan Sulbar ini terdiri atas 17 kecamatan dengan 488 TPS.
Selain jalan rusak parah di berbagai titik, tantangan yang lebih serius sejumlah TPS titik survey jauh ke pedalaman, tidak terjangkau kendaraan.
“Teman saya terpaksa jalan kaki berjam -jam utk tiba di TPS penugasan, ”
Sebagai anak pesisir, berdiam di daerah yang suhunya sangat dingin, kadang dibawah 10 derajat celcius, tentu menjadi sensasi tersendiri, pengalaman hidup yang selalu menarik dikenang.


Komentar
Posting Komentar